Hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah, diawal era Islam, terjadi pada tahun 622; Rasul meninggal sepuluh tahun kemudian. Sepeninggalnya, mulailah penaklukan Arab, dan penaklukan ini berlangsung dengan sangat cepat.
Di Timur, pasukan Islam menyerbu Syria pada tahun 634, dan berhasil menaklukannya dalam dua tahun. Pada tahun 637 mereka menyerbu Persia, dan negara ini menyerah tanpa syarat pada tahun 650. India diserbu tahun 664; Konstantinopel diserbu pada tahun 669 (dan kemudian pada tahun 716-717).
Perlu menjadi catatan juga, bahwa gerakan ke arah Barat tidak secepat di timur. Mesir ditaklukan pada tahun 642, Carthage baru menyerah pada tahun 697. Spanyol, kecuali sebagian wilayah di barat laut, ditaklukan pada tahun 711-712. Hampir seratus tahun setelah meninggalnya Nabi (Kaum Turki Usmani, yang akhirnya menaklukan Konstantinopel, berasal dari periode berikutnya).
Peran Peradaban Persia, Yunani, dan India
Sebelum peradaban Islam terbentuk, tidak dipungkiri pula adanya peran dari peradaban sebelumnya yang turut membentuk kejayaan Islam dimasanya, yakni peradaban Yunani, Persia, dan India. Dari peradaban Yunani muncul kata filsafat yang pertama kali istilah tersebut digunakan oleh Pythagoras (572- 497 SM).
Sementara itu diantara ilmu-ilmu India yang besar pengaruhnya kepada intelektual Islam adalah ilmu hitung, astronomi, ilmu kedokteran, dan matematika dengan angka-angka yang oleh orang Arab disebut angka India dan oleh orang Eropa kemudian dikenal dengan nama angka Arab. Sedangkan dari Persia terdapat ilmu bumi, logika. filsafat, ilmu ukur, astronomi, kedokteran, sastra dan seni.
Namun, pengaruh terbesar yang diterima umat Islam dalam bidang ilmu dan filsafat, menurut Ahmad Yamin adalah dari Yunani. Jadi, logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pikiran Islam di zaman Bani Abbassiyah.
Penaklukan Alexander the Great
Dalam catatan sejarah sendiri, cara terjadinya kontak antara umat Islam dan filsafat Yunani (juga sains) melalui daerah Suria, Mesopotomia, Persia, dan Mesir. Filsafat Yunani datang ke daerah-daerah ini ketika penaklukan Alexander the Great Ke Timur pada abad keempat (331) Sebelum Masehi.
Ia mempersatukan orang-orang Yunani dan Persia dalam satu negara besar, salah satunya dengan cara mendorong perkawinan campuran antara Yunani dan Persia. Sebagai bukti dalam hal ini Kota Alexanderia di Mesir, yang dalam bahasa Arab disebut al-Iskandaria, merupakan warisan yang telah dilakukan oleh Alexander the Great hingga tahun 321 SM.
Dari Usaha diatas, mulai muncullah pusat-pusat Hellenisme yang terkenal adalah Alexanderia di Mesir, Antiok di Suria, Harran, dan Jundisyapur dekat Baghdad serta Baktra di Persia. Lalu kebudayaan filsafat itu ditemukan dan dipelihara oleh ahli-ahli pikir Islam.
Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah
Namun, pada zaman Khalifah Rasyidin dan Dinasti Umaiyah pengaruh filsafat Yunani (juga sains) belum begitu terlihat karena pada masa ini selain dikenal dengan masa penaklukan Islam, kegiatan juga lebih banyak mengacu pada kebudayaan Arab.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah dengan pusat kerajaannya Baghdad lah, para raja dan ilmuan muslim mulai tertarik dengan filsafat Yunani. Dari sinilah mulai timbul gerakan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab atas dorongan Khalifah Al-Mansur dan kemudian Khalifah Harun al-Rasyid. Kegiatan ini meningkat pada masa Khalifah Al-Makmun, putra Harun Al-Rasyid yang dikenal dengan zaman penerjemahan.
Khalifah Khalid ibn Yazid pada masa Dinasti Bani Umayyah sebetulnya sudah mulai menerjemahkan buku-buku ilmiah ke dalam bahasa Arab yang erat kaitannya dengan keperluan praktis, seperti buku kedokteran dan ilmu kimia. Akan tetapi, kegiatan penerjemahan dalam arti yang sesungguhnya dimulai pada masa Khalifah Bani Abbasiyah yang kedua, Al-Mansur.
Pada masa Khalifah Al-Makmun kegiatan penerjemahan mencapai zaman keemasannya, sebab ia juga termasuk seorang intelektual yang mencintai ilmu pengetahuan dan filsafat serta dia juga lah yang mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, yang dipimpin oleh Hunain Ibn Ishaq, seorang Nasrani yang ahli bahasa Yunani dan dibantu oleh Al-Kindi dan lainnya.
Dalam era penerjemahan ini, bermacam-macam buku filsafat dalam berbagai bidang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, baik dari bahasa Siryani, Persia, maupun yang berbahasa Yunani sendiri. Al-Kindi (meninggal 873), menjadi orang pertama yang menulis filsafat dalam bahasa Arab, dan satu-satunya filosof yang berkebangsaan Arab, menerjemahkan sebagian dari Enneads Plotinus dan menerbitkan terjemahannya dengan judul Teologi Aristoteles.
Sekitar tahun 830, Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, penerjemah buku-buku matematikan dan astronomi dari bahasa Sansakerta, menerbitkan buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad keduabelas dengan judul Algoritmi de Numero Indorum.
Dari buku inilah, Barat pertama-tama mempelajari apa yang kita sebut bilangan “Arab”, yang mestinya disebut bilangan “India”. Al-Khawarizmi juga menulis buku tentang Aljabar yang digunakan di barat di Barat sebagai buku teks sampai abad keenambelas.
Para filosof Arab, pada umumnya, adalah ensiklopedis: mereka tertarik dalam kimia, astrologi, astronomi, dan zoologi, sebagaimana mereka juga tertarik pada apa yang bisa kita sebut sebagai filsafat. Dua filosof Islam, satu dari Persia dan satu dari Spanyol, yaitu Avicenna (Ibnu Sina) dan Averroes (Ibnu Rushd), perlu mendapat catatan khusus. Avicenna lebih terkenal dikalangan kaum Muslim, sedangkan Averroes di kalangan umat Kristen.
Avicenna (Ibnu Sinna) (980-1037) yang dilahirkan di propinsi Bukhara, pada usia dua puluh empat tahun ia pergi ke Khiva, kemudian ke Khurasan. Untuk beberapa lama ia mengajar kedokteran dan filsafat Isfahan, kemudian tinggal di Teheran. Meskipun ia hanya memberikan tambahan yang sedikit pengetahuan mengenai kedokteran dari yang dikemukakan oleh Galen, tapi ia sangat terkenal dibidang kedokteran.
Sementara Averroes (Ibnu Rushd) (1126-1198) tinggal di belahan lain dunia Islam dari Ibnu Sina. Ia dilahirkan di Kordoba, dimana ayah dan kakeknya adalah qadli, dan ia sendiri adalah seorang qadli, pertama di Sevielle, kemudian di Kordoba. Pertama-tama ia belajar teologi dan hukum, kemudian kedokteran, matematika, dan filsafat.
Peradaban Islam pada masa kejayaannya termasyhur dalam seni dan keahlian teknis, tetapi tidak menunjukkan kemampuan akan pemikiran spekulatif yang independen dalam masalah-masalah teoritis. Arti penting dari peradaban ini, yang tentu saja tidak boleh diremehkan, adalah sebagai transmitter (penghubung).
Dari pemaparan diatas terkait transmisi keilmuan dari Filsafat Yunani menuju Filsafat Islam melalui penerjemahan, secara langsung ataupun tidak langsung umat Islam telah mampu menguasai intelektual dari tiga kebudayaan yang sudah tinggi ketika itu, yakni Yunani, Persia, dan India.