Pada dasarnya manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia juga memiliki kecenderungan untuk mencari nilai-nilai ilahiyah yang ada pada pencipta-Nya, hal ini merupakan bukti bahwa manusia memiliki sifat rohani dalam dirinya. Selain itu juga manusia sebagai makhluk jasmani juga membutuhkan sesuatu yang bersifat materi untuk menunjang kehidupannya.
Nama lengkap dari Imam Junayd Al-Baghdadi adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujj al-Nahawandi. Berdasarkan kesepakatan dari para ulama’ Imam Junayd Al-Baghdadi lahir di kota Baghdad, pada tahun 215 H dan beliau meninggal dunia pada tahun 297 H. Diceritakan bahwa Imam Junaid kecil sering ikut ayahnya bekerja sebagai pengrajin kaca. Nama ayahnya adalah Muhammad Ibn Junayd. (Anwar, 1995: 15)
Selain mendalami ilmu tasawuf Imam Junayd juga belajar ilmu fiqih kepada Abû Tsaur yang merupakan murid langsung dari imam Syafi’i. Kemudian sejak kecil beliau juga belajar ilmu tasawuf dari Imam Sari as-Saqati yang merupakan pamannya sendiri. Selain itu Imam Junayd Al-Baghdadi juga belajar ilmu tasawuf dari Ma’ruf al-Karkhi. (Kader, 2018: 22)
Imam Junayd Al-Baghdadi juga dikenal sebagai Imam besar yang terkenal di bidang tasawuf. Beliau juga menjadi panutan dalam mengarungi lautan keilmuan tasawuf, terutama bagi kalangan aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sangat mengidolakannya. karena dalam ajaran tasawufnya beliau tetap konsisten dalam menjalankan hukum syariat agama Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadith.
Kata tasawuf berasal dari bahasa arab yaitu shuf yang berarti bulu domba. Pada zaman dahulu bulu domba digunakan untuk pembuatan kain wol kasar yang biasa digunakan oleh para sufi. Kain wol kasar biasa dijadikan sebagai simbol kesederhanaan dan menjauhi kesenangan duniawi. Dalam arti lain kata shuf berarti sehelai bulu yang terpisah dari kesatuan Tuhan yang tidak memiliki arti apa-apa. (Cecep Alba, 2012: 9)
Konsep tasawuf sendiri berasal dari kegelisahan seorang hamba yang ingin lebih dekat atau lebih mengenal dengan Tuhannya. Akan tetapi apalah daya, jarak antara seorang hamba dengan Tuhannya terlampau jauh. Maka dari itu ilmu tasawuf digunakan oleh para sufi untuk menjembatani jarak antara Tuhan dengan hambanya.
Dalam tulisannya al-Kalabadzi dalam kitabnya yang berjudul “al-Ta’rif li Mazhab Ahli al-Tasawuf” ia menerangkan bahwa tasawuf menurut Imam Junayd Al-Baghdadi adalah sebagai berikut:
“menghindari dari kesenangan duniawi dan membersihkan hati (zuhud), menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengendalikan hawa nafsunya, mempercantik diri dengan sifat-sifat ruhaniah melalui ilmu hakikat, lebih bersandar kepada Allah SWT, menyeru kepada kebaikan kepada antar sesama manusia, serta juga mengikuti ajaran Rasulullah SAW yang berlandaskan syariat baik Al-Qur’an maupun As-sunnah (hadith).” (Kalabadzî, 1969: 34)
Mithaq (Perjanjian)
Pada dasarnya manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Manusia juga memiliki kecenderungan untuk mencari nilai-nilai ilahiyah yang ada pada pencipta-Nya, hal ini merupakan bukti bahwa manusia memiliki sifat rohani dalam dirinya. Selain itu juga manusia sebagai makhluk jasmani juga membutuhkan sesuatu yang bersifat materi untuk menunjang kehidupannya.
Mithaq merupakan sebuah perjanjian yang dialami oleh setiap manusia dengan Allah SWT. sebelum manusia lahir di dunia ini, manusia telah diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk “jiwa”. Kemudian Jiwa ini bertemu dan bersaksi dengan-Nya. Kesimpulan ini berdasarkan dari firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an surah Al- A’raf ayat 172:
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan dari pinggang anak-anak Adam dan menjadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri, (bertanya kepada mereka): “Bukankah Aku Tuhanmu?” “Ya (Engkau adalah Tuhan kami), kami bersaksi,” jawab mereka. (Q.S. Al-A’raf [7]: 172).
Menurut Imam Junayd Al- Baghdadi dalam kitabnya yang berjudul Rasail Junaid, pada saat itu, manusia hanya terdiri dari jiwa saja, tanpa ada raga seperti di dunia. Keberadaan jiwa tersebut berada di sisi Allah SWT. Jiwa tersebut merupakan manifestasi surgawi yang masih suci dan murni, karena belum tercemar oleh kehidupan duniawi. Pada tahap inilah yang ingin di capai oleh para sufi (ilahiyah), karena pada tahap ini saja manusia dapat dekat dengan Allah SWT. (Junaid, 1988)
Pada teori mithaq mengajarkan kita tentang bagaimana seorang hamba dapat kembali ke bentuk ilahiyah ( keberadaan di dalam Allah) mereka. Dalam arti jiwa meereka terpisah dari tubuh fisik mereka, karena diri spiritual mereka telah menyatu dengan Tuhan. Ini adalah pencapaian seorang hamba Allah menuju tauhid (keesaan) yang sesungguhnya. Namun, ia dapat mencapai tahap ini hanya setelah berpisah dari sifat manusianya.
Sebagai kesimpulan, Imam Junayd menegaskan bahwa ada dua mode keberadaan manusia. Pertama adalah bentuk ilahiyah (keberadaan di dalam Allah) yang telah ada sebelum kita terlahir di dunia ini. Yang kedua adalah bentuk fisik seperti keberadaan kita di dunia ini. Mithaq mengajarkan manusia untuk kembali ke bentuk ilahiyah dengan cara bersikap zuhud dan menjauhi kesenangan duniawi. (Junaid, 1988)
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang bisa kembali ke wujud ilahiyahnya, sebelum mereka meninggal dunia. Mungkin perbandingannya satu banding sejuta orang saja yang bisa melakukannya dan hanya waliyullah (kekasih Allah) saja yang bisa melakukannya. Jadi yang terpenting dalam menjalani hidup di dunia ini adalah beribadah yang sesuai dengan hukum syari’at Islam dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Wallahu A’lam Bishawab