Martin Buber: Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap Kepada Selain Kita? (2)

banner 468x60

Sikap I and It

Dalam Iit atau aku-itu, aku sebagai subyek menyapa things (benda-benda) dengan kata itu. Relasi ‘aku-itu’ terkungkung dalam dunia goa kegelapan karena tidak ada cahaya yang dipancarkan untuk menciptakan ruang komunikasi.

Dalam buku yang di Tulis Margaretha Paulus yang berjudul ‘Perjumpaan Dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber’ (2006) bahwa dialog antara aku-itu tidak tercapai, sebab di sana dunia tanpa bahasa sebagai sarana untuk berdialog secara timbal-balik (mutual). Ketiadaan ruang untuk berdialog menyebabkan tindakan komunikasi tidak mungkin terjadi.

Sang ‘aku’ yang memandang itu sebagai sesuatu yang tidak mampu untuk berdialog dan mengarahkan aku mempergunakan benda itu sendiri mengikuti kehendaknya. Aku yang menganggap diri sebagai subyek yang aktif dalam dialog memandang dunia itu sebagai peserta dialog yang pasif dan tidak dapat mengumpan balik (feedback) dalam tindakan berkomunikasi. Akibatnya, ia hanya disiapkan untuk diperlakukan apa saja oleh ‘aku’.

Relasi ‘aku-itu’ adalah ketika manusia diperlakukan seperti benda yang mana bisa diperalat, dikontrol. Hubungan ‘aku’ bersifat aktif, sedangkan ‘itu’ bersifat pasif dan siap dipakai apapun oleh ‘aku’. Hal ini seperti hubungan kepunyaan, yakni ‘aku’ sebagai subjek dengan bebas melakukan apapun terhadap ‘itu’ sebagai hak milik.

Menurut Buber dalam bukunya “I and Thou” (2008: 5) Perjumpaan tidak terjadi dalam hubungan ‘aku-itu’. ‘Aku’ menutup diri dari ‘itu’, tidak membiarkan ‘aku’ ada pada dirinya sendiri tetapi ada menurut pikiran ‘aku’. ‘Itu’ adalah dunia pengalaman (Erfahrung).

Pengalaman yang dimaksud oleh Martin Buber adalah segala sesuatu yang digunakan demi kepentingan ‘aku’. Pengalaman ‘aku’ memasukkan segala sesuatu yang lain ke dalam dirinya sendiri. Sedangkan ‘yang lain’ tidak berada pada posisi ‘ruang antara’, karena itu tidak ada perjumpaan dalam hubungan ‘aku-itu’.

‘Aku’ hadir sebagai diri yang menampilkan ego, mengobjektivitasi yang lain demi kepentingannya sendiri. Menurutnya individu yang melakukan pola hubungan ‘aku-itu’ bukan manusia, karena baginya relasi ‘aku-itu’ mengakibatkan individu keluar dari komunitas bahkan jauh dari sesamanya. Relasi ‘aku-itu’ membuat individu hidup terasing, padahal jati dirinya sebagai ‘ada’ (being) hanya dapat diwujudkan jika berada dalam perjumpaan (encounter).

Relasi ‘aku-itu’ ini bisa dikatakan bahwa peran ‘aku’ mendominasi. Sedangkan ‘itu’ hanyalah objek yang harus siap diperlakukan oleh ‘aku’. Dengan ini sederhananya bahwa relasi ‘aku-itu’ adalah relasi ‘subjek-objek’.

Sikap I and Thou

Pola relasi IThou atau ‘aku-kamu’, menurut Martin Buber adalah hubungan timbal balik dimana hal itu membentuk dunia interaksi.

Relasi ‘aku-kamu’ merupakan peningkatan progresifitas dari hubungan ‘aku-itu’. ‘Kamu’ dapat membalas apa yang ‘aku’ sampaikan dan hanya ‘kamu’ yang dapat memberi masukkan kepada ‘aku’ sehingga dapat mengembangkan diri. Hal semacam ini yang tidak ada dalam relasi ‘aku-itu’.

Wahyu Wibowo menjelaskan dalam bukunya ‘Aku, Tuhan dan sesama’ (2017) bahwa ‘Kehidupan roh’ diidentifikasi dengan adanya pengembangan progresif dalam diri individu secara terus menerus.

Kehidupan roh ada di ‘ruang antara’  ‘aku’ dan ‘kamu’. Baginya kehidupan roh tidak tidak terdapat di dalam ‘aku’, tetapi berada di dalam perjumpaan antara ‘aku’ dan ‘kamu’. (Buber, 1958: 49)

‘Aku’ bisa ada di dalam kehidupan roh apabila ‘aku’ dapat menanggapi perjumpaan dengan ‘kamu’ sebagai subjek setara juga subjek yang saling membangun. ‘Ruang antara’ menyebabkan ‘aku’ dan ‘kamu’ terpisah agar berhadapan muka sebagai yang setara tetapi sekaligus ada jarak yang menyatukannya, ‘aku’ maupun ‘aku’ memiliki subjektivitas masing-masing. ‘Ruang antara’ menyadarkan keduanya bahwa ada subjektivitas pada diri masing-masing juga sekaligus sadar akan subjektivitas pada yang lain.

Kehidupan komunitas terbentuk dari relasi ‘aku-kamu’. Setiap individu membutuhkan tempat berpijak untuk hidup dalam hubungan timbal balik yang setara. Menurutnya komunitas dibangun berdasarkan dua hal:

Pertama adalah interaksi yang dijalankan atas dasar satu pusat kehidupan. Kedua adalah komunitas itu harus dibangun berdasarkan interaksi. Dialog menjadi solusi juga dasar agar kedua hal tersebut dapat dijalankan. (Wibowo, 2017: 41)

Relasi ‘aku-kamu’ memiliki aspek cinta yang memungkinkan seseorang bertanggungjawab kepada yang lain. ‘Aku’ dalam pola relasi ‘aku-kamu’ adalah yang mampu mencintai. Cinta merupakan bentuk tanggung jawab ‘aku’ terhadap ‘kamu’ yang tidak terdapat dalam pola hubungan ‘aku-itu’. Cinta merupakan pengarahan ‘aku’ kepada ‘kamu’.

Individu diberi kemampuan untuk hidup dalam keterlibatan yang utuh dengan sesamanya melalui cinta. ‘Aku’ yang mencintai ‘kamu’, adalah ‘aku’ yang memperlakukan ‘kamu’ setara. Dalam kesetaraan ‘kamu’ mewujudkan tanggung jawab.

Cinta bukanlah perasaan subjektif, perasaan ada di dalam ‘aku’, sedangkan ‘aku’ ada di dalam cinta. Di sinilah letak perbedaan ‘aku’ dalam relasi ‘aku-itu’, ‘aku’ adalah perasaan. Cinta dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, cinta menunjuk kepada orang lain sedangkan perasaan menunjuk pada diri sendiri.

Relasi ‘aku-kamu’ tidak hanya memiliki aspek cinta, tetapi juga ada aspek kebebasan. ‘Aku’ mengadakan perjumpaan dengan ‘kamu’ bukan sebab ‘kamu’ telah melakukan sesuatu terhadap ‘kamu’, akan tetapi ‘kamu’ menanggapi ‘kamu’ berdasarkan atas keputusan bebas ‘kamu’ untuk mengadakan relasi dengan ‘kamu’.

Dia menyebutkan bahwa individu yang bebas adalah individu yang berkehendak tanpa selalu berubah pikiran dengan tiba-tiba dengan alasan yang tidak jelas. Kehendak dalam diri individu bukan kehendak untuk berkuasa, melainkan kehendak untuk merealisasikan kehidupan yang mendorong manusia untuk mengadakan perjumpaan dengan orang lain.

Perincian penjelasan langsung bersumber dari Wahju S. Wibowo. Aku, Tuhan dan Sesama: Butir-Butir Pemikiran Martin Buber Tentang Relasi Manusia dan Tuhan. Yogyakarta: Cv. Sunrise, 2017.

Pos terkait

1 Komentar

Komentar ditutup.