Epikuros: Manusia Yang Hanya Mencari Kesenangan

banner 468x60

 “Orang bijaksana tahu membatasi diri dan terutama mencari kesenangan rohani, supaya keadaan batin tetap tenang” (K.Bertens, 1975: 15)

DEMIKIAN catatan K. Bertens ketika berbicara tentang kebahagiaan dalam perspektif Epikuros. Epikuros sendiri dikenal sebagai filosof hedonisme.  Sehingga Epikuros selalu diidentikan dengan konotasi negatif, karena dianggap  ajaran-ajarannya hanya untuk mencari kesenangan.

Pada mulanya, Epikureanisme merupakan nama sebuah sekolah filsafat di Athena yang didirikan oleh Epikuros sekitar tahun 300 SM. Dan di kemudian hari menjadi salah satu aliran terkemuka filsafat Yunani pasca-Aristoteles.

Epikuros lahir tahun 314 SM di kota Yunani, Samos, dan meninggal di Athena tahun 270. Ia dikenal sebagai  seorang pribadi halus, luhur, dan memikat. Ia juga dipuji karena kesederhanaannya, sikap yang lemah lembut, kebaikan hatinya, dan paham persahabatannya yang mendalam.

Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan kaum Stoa, seorang Epikurean tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros ialah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyan Epikuros adalah “hidup dalam kesembunyian”. Sehingga, Epikuros lebih identik dengan sekolah kebijaksanaan hidup dibanding kebijaksanaan dunia.

Seorang Epikurean, seperti dijelaskan Fahruddin Faiz secara umum dipandang sebagai orang  yang menjalankan hidupnya hanya untuk kesenangan jasmaniyah. Jadi, hidupnya seorang Epikurean didedikasikan hanya untuk mencari kesenangan  saja. Kendati demikian, kita sering salah kaprah dalam memahami maksud dari mencari kesenangan. Sebab, hakikat dari mencari kesenangan itu diperbolehkan. Yang tidak boleh ialah jika hidup hanya untuk senang-senang semata (Fahruddin Faiz, 2017).

Bagi kaum epikurean, dalam segala hal, kita harus mencari kesenangan. Karena, kehidupan yang di dalamnya terkandung kesenangan merupakan kehidupan terbaik untuk manusia. kebahagiaan dan inti ajaran moral Epikuros, terdiri dalam nikmat. Oleh sebab itu, dalam pandangan Epikuros, yang baik adalah yang menghasilkan nikmat, dan yang buruk adalah apa yang menghasilkan perasaan tidak enak.

Mungkin bagi orang awam seperti kita, pandangan di atas tampak seperti sebuah ambisi yang materialistis dan terkesan hedonis. Untuk itu, kita mesti mengerti betul apa yang dimaksud nikmat dalam pandangan kaum Epikurean. Sebab, bagi mereka, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Sehingga, tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi.

Ada yang menarik dari ajaran Epikuros, dimana ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (semisal makan), dan keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hal tersebut cukup relevan dengan kondisi kita hari ini.

Tidak sedikit dari kita yang hidup hanya untuk memenuhi keinginan yang tidak perlu. Bahkan tidak sedikit dari kita yang hidupnya dihabiskan hanya untuk mengejar kekayaan semata. Kita lupa akan hakikat dari nikmat itu sendiri. Bukankah intisari dari nikmat itu sendiri terdiri dari ketentraman jiwa yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan dibingungkan? Dalam ataraxia, kebebasan dari perasaan risau atau terkejut (Franz Magnis Suseno, 2018: 49).

Ketika manusia bebas dari rasa risau, ia akan menjalani hidup sedemikian rupa, sehingga jasmaninya tetap sehat dan jiwanya selalu dalam keadaan tenang. Untuk mencapai keadaan tersebut, seorang epikurean dituntut untuk sedapat mungkin menghindari apa yang dapat menyakiti dirinya. Terutama menghindari pengalaman-pengalaman yang tidak  mengenakkan.

Berdasarkan fakta di atas, maka kesenangan hidup dalam pandangan Epikuros dilihat secara negatif, yaitu sebagai kebebasan dari rasa sakit dan penderitaan (apathia), daripada secara positif sebagai perasaan puas. Karenanya, Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan. Orang bijaksana, sebagaimana yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno adalah “seniman hidup”. Ia pandai mempertimbangkan apakah ia memilih nikmat atau rasa sakit (Franz Magnis Suseno, 2018: 50).

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, dapat saja kita memilih nikmat sesaat namun menghasilkan penderitaan kemudian. Misalnya, membeli makan-makanan  yang mahal tanpa memperdulikan kapasitas keuangan untuk kebutuhan makan selama sebulan. Sehingga bisa saja kita akan mengalami penderitaan berupa kelaparan di kemudian hari.

Sedangkan di waktu yang sama, kita juga dapat memilih perasaan sakit sesaat demi meningkatkan kenikmatan jangka panjang. Bukan perasaan-perasaan senang yang hanya sesaat yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, melainkan nikmat yang bertahan selama seluruh kehidupan.

Untuk mencapai tarap tersebut, hedonisme Epikuros menganjurkan agar kita sebagai manusia selalu menguasai diri dan memperkuat jiwa untuk menghadapi segala jenis persoalan hidup. Sehingga ketika seorang Epikurean berada dalam kondisi suka dan duka, perasaannya tetap sama (Mohammad Hatta, 1986: 147).

Singkat kata, orang yang mampu menguasai dirinya disebut sebagai orang bijaksana. Dan orang bijaksana tidak akan memperbanyak kebutuhannya. Melainkan sebaliknya, membatasi kebutuhan-kebutuhannya, agar dengan membatasi diri, dapat menikmati kepuasan. Ia akan menghindari tindakan yang berlebihan. Sehingga ia akan mencari kehidupan yang tenang dan tentram.

Perlu diingat bahwa etika Epikurean bersifat privatistik. Di mana yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros  menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan di depan umum (publik). Dalam hal ini Epikureanisme mengutamakan kepentingan individualisme.

Karena itu, tidak mengherankan jika sikap-sikap moral dasar semisal tanggung jawab, kewajiban, cinta kasih, perjuangan demi keadilan, kesediaan untuk berjuang dan mengambil risiko demi kebaikan sesama tidak ada dalam kamus etika Epikureanisme.

Kendati demikian, ajaran Epikuros tidak bersifat egois, apalagi anti sosial. Sebab, Epikuros juga mengajarkan bahwa berbuat baik sering lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan. Artinya melakukan aktivitas yang dapat memberikan kebermanfaatan kepada orang banyak bernilai lebih menyenangkan dibandingkan mengharap orang lain agar berbuat baik kepada kita.

Selain itu, Epikuros memuji keutamaan-keutamaan seperti kesederhanaan, tahu diri, penguasaan diri, dan kegembiraan dalam semua situasi. Karenanya, Epikuros menganjurkan semacam “pola hidup sederhana”. Orang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan. Dengan begitu, manusia akan mencapai ataraxia (keadaan jiwa tanpa keresahan), dan memperoleh ketenangan jiwa yang mampu mengusir segala macam kekhawatiran (K. Bertens, 2019: 185).

Epikureanisme dalam catatan sejarah filsafat selalu diidentikan dengan hal-hal yang bersifat negatif. Karena dianggap sebagai aliran yang hanya mencari kesenangan dan mengutamakan kenikmatan jasmani. Kiranya betul penilaian yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno bahwa “Epikureanisme ingin menawarkan cita-cita kehidupan pribadi yang tenang, yang mewujudkan ruang kebebasan dari gangguan dunia bagi dirinya” (Franz Magnis Suseno, 2018: 51).

Dari uraian di atas, sebenarnya Epikuros tidak memberikan suatu ajaran yang hanya mementingkan kesenangan jasmani atau materi semata. Melainkan lebih dari itu. Namun, di sisi lain, ajaran yang dibawa Epikuros juga terlalu sempit untuk menghadirkan kebahagiaan sejati.

 

Referensi:

Bertens, K. Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2019).

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: 1976).

Faiz, Fahruddin. Epikureanisme. Ngaji Filsafat. MJS Colombo Yogyakarta, 2017.

Hatta, Mohammad. Alam  Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1986).

Suseno, Franz Magnis. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 2018).

Pos terkait