Huru-hara Pembubaran Pengajian. Tindakan pembubaran majelis pengajian sampai sekarang masih terjadi dan muncul di tengah-tengah kita. Media memang dapat memberitakan segalanya dan framing semaunya. Meskipun informasi tersebut kerap diperkuat dengan lampiran unggahan-unggahan video pendukung. Namun era post-truth sekarang ini meniscayakan akan tafsir dan makna yang tidak tunggal atas segala informasi dan data.
Sama halnya dengan komentar orang-orang atas pembubaran pengajian Hanan Attaki di Madura. Media dengan cepat mengunggah video pembubaran tersebut di atas hamparan jagat media sosial. Walhasil banyak komentar netizen yang tampil memberondong menanggapi peristiwa tersebut. Tentu komentar para warga net itu berdasarkan tafsir mereka masing-masing.
Para pendukung Hanan Attaki jelas memberikan komentar yang bernada mengecam akan tindakan tersebut. Mereka menolak dengan keras tindakan yang dilakukan oleh Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang membubarkan pengajian tersebut. Lain halnya dengan para pendukung yang berada pada kubu sebaliknya, mereka tidak sepenuhnya menolak tindakan yang dilakukan oleh Banser tersebut sebab Hanan Attaki bagi mereka kerap menyampaikan materi-materi dakwah yang berseberangan.
Tafsir Islam yang Beragam
Huru-hara Pembubaran Pengajian. Bagi saya, hal paling mendasar yang perlu dipahami oleh setiap kita adalah bahwa pemahaman individu akan Islam itu tidak tunggal. Islam memunculkan wajah pluralitas pada pemeluk-pemeluknya. Fenomena ini bisa kita lihat pada tataran ormas yang mengatasnamakan ormas Islam. Sebut saja misalnya ormas Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Persis dan lain-lain.
Setiap ormas Islam memiliki ekspresi keberislamannya masing-masing. Mengapa bisa demikian?, karena orang-orang atau figur intelektual dalam Ormas tersebut memahami Islam berdasarkan tafsirannya sendiri. Tidak ada di antara kita yang bisa menahan seseorang dari aktivitas berpikirnya.
Baca juga: Pesan Imam Syafi’i untuk Pemuda
Dalam bahasa yang diplomatik dan sangat sederhana,sebutlah perbedaan-perbedaan dari masing-masing ormas adalah karakteristik mereka yang khas. Pada tataran realitas sosialnya, kita tidak bisa memaksakan karakteristik yang satu mengikuti karakteristik yang lain. Kita juga tidak bisa mengamputasi karakteristik tertentu daripada karakteristik yang lainnya. Setiap ormas akan diuji oleh alam dan dinamika kehidupannya masing-masing.
Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan adalah menumbuhkan sikap saling menghormati antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Setiap perbedaan dalam internal tubuh umat Islam bukan berarti musuh (sampai batas-batas tertentu). Ketika seseorang masih mengaku Allah SWT sebagai Tuhannya, Muhammad SAW adalah Nabinya dan al-Qur’an adalah kitabnya maka ia adalah saudara dalam keimanan dan keislaman.
Di samping kita mengajarkan pengetahuan-pengetahuan dasar Islam kepada masyarakat, kita juga mesti mengetengahkan fiqih pluralitas. Menyampaikan tentang realitas yang beragam serta sikap-sikap arif yang diambil dalam menyikapinya. Etika sosial Islam menjadi menu yang juga sangat penting untuk disampaikan secara pelan-pelan kepada masyarakat.
Pencekalan Menimpa Siapa Pun
Huru-hara Pembubaran Pengajian. Kasus Hanan Attaki di Madura saya kira bukan kasus tunggal tentang pembubaran pengajian. Masih banyak kasus pembubaran lain yang serupa dengan korban atau figur ustadz yang berbeda. Uniknya kasus ini pun tidak hanya menimpa pada satu kelompok Islam tertentu saja, namun nyaris setiap kelompok merasakan hal yang sama, hanya wilayah atau lokasi kejadiannya saja yang berbeda.
Untuk pembanding dari peristiwa yang tengah merundung Hanan Attaki, penulis ketengahkan pengakuan dari figur intelektual Nahdhatul Ulama, Nadirsyah Hosein. Tokoh yang kerap disapa Gus Nadir ini memberikan pengakuan yang cukup mengejutkan pada salah satu postingan instagrmanya. Beliau memaparkan beberapa masjid yang mencoret dirinya dari daftar khatib. Tidak hanya itu, aksi pemboikotan acara juga pernah beliau terima sehingga acaranya menjadi sangat-sangat jauh dari kata kondusif.
Membaca pengakuan Gus Nadir tersebut, kita jadi teringat bagaimana peristiwa atau situasi serupa yang juga pernah dialami oleh Rocky Gerung. Meskipun dalam hal ini ia tidak berkapasitas sebagai ulama. Namun tetap saja sama-sama berada di bawah tema pemboikotan dan pencekalan.
Menuju Masyarakat Dialogis
Huru-hara Pembubaran Pengajian. Saya kira bangsa ini belum khatam dari pelajarannya akan etika sosial yang paling dasar. Bahwa hidup mengajarkan kita untuk saling tenggang rasa, menghormati dan menghargai satu sama lain. Saudara dengan pikiran yang berbeda bukanlah binatang hina yang layak untuk dimusnahkan. Tetapi ujian keimanan dan pengetahuan yang mesti disikapi dengan kebijaksanaan dan kecerdasan.
Dialog adalah langkah awal untuk bisa saling mendengar dan membaca perbedaan. Saya kira dalam konflik apapun selalu ada celah untuk bisa saling bergandengan tangan meneguhkan kebersamaan (jama’ah). Perpecahan akan selalu muncul manakala telinga sudah ditulikan, penglihatan sudah dibutakan dan hati telah dimatikan dari suara-suara nurani kebenaran dan kemanusiaan.
Baca juga: Demografi Sebagai Peluang Dakwah