Pendahuluan
Hewan merupakan kelompok organisme yang diklarifikasikan kedalam kerajaan biologi Amalia, dan juga merupakan salah satu dari berbagai makhluk hidup dibumi. Hewan berasal dari bahasa Arab disebut yang berarti binatang. Dalam bahasa Inggris disebut dengan animal yang berasal dari bahasa Latin yaitu animalis yang artinya memliki nafas.[1] Menurut M. Quraish Shihab menerangkan bahwa terdapat enam kelompok utama binatang yang dikenal manusia antara lain yaitu: mamalia, burung, ikan, serangga, reptil, dan amfibi.[2]
Semua makhluk hidup memiliki peran dan fungsi dalam eksistensinya khususnya binatang. Terdapat beberapa hal yang terkadung di dalam al-Qur’an mengenai eksistensi binatang.
- Adanya binatang menjadi suatu tanda kekuasaan Allah, yang dijelaskan dalam ayat berikut,
وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَاۤبَّةٍ اٰيٰتٌ لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini”
- Binatang adalah bagian dari umat seperti manusia, yang ditegasakan dalam ayat berikut,
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّا اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan”
- Binatang pun bertasbih memuji Allah, yang ditegasakan dalam ayat berikut,
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُسَبِّحُ لَه مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالطَّيْرُ صٰۤفّٰتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَه وَتَسْبِيْحَهۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ
“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”[3]
Hewan Dijadikan Eksperimen Menurut Berbagai Madzhab
Hewan juga sering kali dijadikan sebagai objek penelitian atau eksperimen yang mana hewan juga memiliki kesamaan organ pada tubuh manusia. Sehingga, akan membuat hewan itu mati, padahal hewan merupakan makhluk hidup yang memiliki hak untuk hidup juga, dan tentunya juga merupakan ciptaan Allah swt. Dalam hal ini hewan dibuat untuk penelitian atau eksperimen menurut pandangan Islam adalah boleh demi kemaslahatan manusia. Dimana hewan digunakan sebagai penelitian atau eksperimen yang memiliki syarat atau standar dasar yang diperlukan dalam penelitian.[4] Sehingga, diperlukan ilmu pengetahuan yang cukup dalam penggunaan hewan sebagai penelitian.
Adapun berbagai pendapat madzab mengenai hewan yang dijadikan penelitian atau eksperiman, antara lain sebagai berikut :
Dalam kitab I’anatut Th<alibin juz 1 halaman 33 dijelaskan :
وَقَوْلُهُ عِنْدَ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا…إلَى أنْ قَالَ: وَيَحْرُمُ الشَّقُّ المَذْكُورُ او القَتْلُ بِالقَصْدِ لِلتَّعْذِيْبِ وَاخْتُلِفَ فِيْمَا شَكَّ فِى سَيْلِ دَمِهِ وَعَدَمِهِ فَهَلْ يَجُوْزُ شَقُّ عُضْوٍ مِنْهُ اولاَ ؟ قَالَ بِالأوَّلِ الرَّمْلِى تَبَعًا لِلْغَزَالِى لأَنَّهُ لِحَاجَةٍ وَقَالَ بِالثَّانِى إبْنُ حَجَرٍ تَبَعًا لِلإِمَامِ الحَرَمَيْنِ لِمَا فِيْهِ مِنَ التَّعْذِيْبِ
Adapun ucapan mushonnif “pada waktu menyobek anggota badan dari binatang” … sampai pada ucapan mushonnif: “haram menyobek tersebut atau membunuh dengan maksud menyiksa”, diperselisihkan mengenai apa yang diragukan mengenai mengalirkan darahnya dan ketiadaan mengalirkan darahnya, apakah boleh menyobek anggota badan dari binatang atau tidak? Imam ar-Romli membolehkan karena mengikuti Imam al-Ghozali karena penyobekan itu sesuatu hajat. Ib<n Hajar tidak membolehkan karena mengikuti Imam al-Haramain, karena dalam penyobekan itu terdapat penyiksaan.[5]
Menurut Madzhab Maliki dan Hambali dalam kitab al-F{iqhul Islamiyyu wa Adilatu>hu juz 3 halaman 521-522:
تَشْرِيْحُ الجُثَّةِ وَنَقْلِ الأعْضَاءِ.
يَرَى المَالِكِيَّةُ وَالحَنَابِلَةُ عَمَلاً بِحَدِيْثِ: “كَسْرُ عَظْمِ المَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا” أنَّهُ لاَيَجُوزُ شَقُّ بَطْنِ المَيْتَهِ الحَامِلِ لإِخْرَاجِ الجَنِيْنِ مِنْهُ؛ لأنَّ هَذَا الوَلَدَ لاَ يَعِيْشُ عَادَةً، وَلاَ يَتَحَقَّقُ أنَّهُ يَحْيَا، فَلاَ يَجُوزُ هَتْكُ حُرْمَةٍ مُتَيَقِّنَةٍ لأَمْرٍ مَوْهُومٍ
“Membedah tubuh dan memindah anggota-anggota:
Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat karena mengamalkan hadist:”Memecahkan tulang mayat adalah seperti memecahkannya dalam keadaan hidup”, bahwa sesungguhnya tidak boleh menyobek perut bangkai yang hamil untuk mengeluarkan janin dari perut tersebut ; karena anak yang dikeluarkan itu biasanya tidak dapat hidup dan tidak nyata bahwa janin tersebut dalam keadaan hidup, sehingga tidak boleh merusak kehormatan dari apa yang telah diyakini untuk perkara yang masih diduga.”
وَأَجَازَ الشَّفِعِيَّةُ شَقَّ بَطْنِ المَيْتَةِ لإِخْرَاجِ وَلَدِهَا, وَشَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ لإِخْرَاجِ مَالٍ مِنْهُ. كَمَا أجَازَ الحَنَفِيَّةُ كَالشَّافِعِيَّةِ شَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ فِى حَالِ ابْتِلاَعِهِ مَالَ غَيْرِهِ, إذَا لَمْ تَكُنْ تِرْكَةٌ يَدْفَعُ مِنْهَا وَلَمْ يَضْمَنْ عَنْهُ أَحَدٌ.
“Madzhab Syafii memperbolehkan menyobek perut bangkai untuk mengeluarkan anaknya, dan menyobek perut mayat untuk mengeluarkan harta dari perut tersebut. Sebagaimana Madzhab Hanafi membolehkan menyobek perut mayat pada waktu menelan harta orang lain, jika dia tidak punya harta peninggalan yang dapat dipergunakan untuk menggantinya, dan tidak ada seseorang yang menjamin untuk mengganti harta yang ditela tersebut.”
وَأجَازَ المَالِكِيَّةُ ايْضًا شَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ إِذَا ابْتَلَعَ قَبْلَ مَوْتِهِ مَالاً لَهُ او لِغَيْرِهِ إذَا كَانَ كَثِيْرًا: وَهُوَ قَدْرُ نِصَابِ الزَّكَاةِ, فِىحَالِ ابْتِلاَعِهِ لِخَوفٍ عَلَيْهِ اولِعُذْرٍ. أَمَّا إِذَا ابْتَلَعَهُ بِقَصْدِ حِرْمَانِ المَوَارِثِ مَثَلاً, فَيُشَقَّ بَطْنُهُ, وَلَو قَلَّ.
“Madzhab Maliki juga memperbolehkan menyobek perut mayat jika sebelum mati dia menelan harta miliknya atau milik orang lain, apabila harta tersebut banyak, yaitu sebanyak nisab zakat, pada waktu menelannya karena menghawatirkan harta tersebut atau karena udzur. Adapun jika dia menelannya dengan maksud untuk mencegah ahli warisnya misalnya, maka perutnya disobek meskipun yang ditelan sedikit”[6]
Demikian pula boleh memotong-motong bangkai binatang untuk belajar, karena kemaslahatan dalam memberi pelajaran membolehkan perbuatan menyakiti binatang.
[1] Hewan – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,” akses Januari 9, 2021,
[2] M. Quraish Shihab, Dia Dimana-Mana: “Tangan” Tuhan Di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 241.
[3] Muaziroh Ulfa, “Etika Manusia Terhadap Hewan (Kajian Tafsir Dalam Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nah<l Ayat 5-9),” IAIN SALATIGA, 2021, 34–36.
[4] M. Kasim dkk., “Percobaan Kedokteran terhadap Hewan Hidup dalam Perspektif Hukum Islam,” BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam Vol 2, No. 2 (19 Agustus 2021): 337, https://doi.org/10.36701/bustanul.v2i2.373.
[5] Al-‘Allamah ‘Abu Bakr Utsman, Kitab I’anah Al-Thalibin Juz 1 (Dar ihya Al-kutub Al – Arobiyah, t.t.), 33.
[6] Wahbah al-Zuhayli dan Abdul Hayyie Al-Kattani, Fiqih Islam wa adillatuhu (Kuala Lumpur: Darul Fikir, 2010), 521–22.