Pekerjaan Rumah Para Pegiat Pendidikan di Awal Tahun

Gedung Kemendikbud RI
Gedung Kemendikbud RI
banner 468x60

Kick off tahun ajaran 2023-2024 kegiatan pembelajaran sekolah sudah dimulai di pertengahan bulan Juli. Gayung bersambut, awal perhelatan pesta pedagogi ini dihujani dengan berbagai persoalan yang muncul menyeruak ke permukaan media nasional. Layar kaca yang kerap ditatap pada acara-acara berita televisi di dalam deretan Channel-nya, mesti mengunggah berita seputar kabar-kabar amis tersebut.

Kisruh PPDB

Pekerjaan rumah tersebut di antaranya ditempati oleh kisruh PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi yang ternyata meninggalkan segudang permasalahan yang cukup pelik.  Pada awalnya sistem Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru adalah suatu sistem penentuan wilayah atau zona geografis yang dipakai untuk membatasi area pendaftaran dan penempatan siswa pada sekolah-sekolah. Ini dilakukan untuk mempercepat pemerataan pada sektor pendidikan sebenarnya.

Namun faktanya di lapangan, cita-cita luhur dari program tersebut diberangus dengan memamah biaknya pendaftaran melalui Kartu-kartu Keluarga palsu. Langkah siasat ini digunakan oleh (lagi-lagi) oknum untuk dapat menyekolahkan anaknya di sekolah yang dituju.

Konon persoalan ini di dalam tubuh hajatan pendidikan Indonesia telah menjadi bincang masalah tahunan. Meskipun terjadi carut marut di dalamnya, namun seiring dengan derasnya sungai waktu yang berisikan debit masalah cukup padat di negeri ini, turut menghanyutkan juga luka nurani pendidikan yang digoreskan oleh ritual PPDB di atas.

Pasar Bisnis Seragam

Selanjutnya masih pada kasus yang tenggat waktunya tidak jauh dengan PPDB, yakni proses jual beli paket seragam sekolah. Baru-baru ini terdapat wali murid yang mengunggah item-item seragam sekolah anaknya dengan jumlah nominal yang cukup fantastis. Meskipun bagi sebagian elit ekonomi di negeri ini angka-angka tersebut bukan soal yang berarti.

Beberapa kasus menunjukkan bahwa langkah tersebut, di mana sekolah mewajibkan para peserta didiknya berbelanja pakaian seragam dari penyedia jasa sekolah, adalah untuk menghidupkan iklim ekonomi para pegawai sekolah. Bagi saya itu adalah hal yang tidak jadi soal bila harganya masih berada pada takaran yang rasional.

Namun bila neracanya sudah bergeser pada modus mangpang meungpeung jelas itu adalah suatu kekeliruan dan kesalahan. Sebab seharusnya dalam hal ini para praktisi pendidikan sekolah dapat memberikan kelonggaran dan keluasan pada peserta didik untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan belajarnya, dengan tetap berpatokan pada standar yang ada.

Mewaspadai Cakaran Perundungan

Soal berikutnya yang rawan menyambar para peserta didik baru adalah cakaran-cakaran perundungan. Setiap peserta didik manapun memiliki potensi menjadi pelaku atau juga menjadi korban dalam kasus perundungan. Di sinilah para praktisi pendidikan mesti menambah pipih tajam indera pendengarannya dan melatih lebih sensitif insting protektifitasnya pada para peserta didik.

Salah satu acara berita televisi nasional pernah menyiarkan berita yang berisi kabar bagaimana salah satu sekolah menyiapkan langkah preventif akan kasus tersebut. Kepala sekolah membentuk tim satgas anti bully yang beranggotakan para peserta didik terpilih dari peserta didik angkatan yang lebih awal.

Pada dasarnya sah-sah saja otoritas sekolah terkait mengambil tindakan preventif apapun terhadap perilaku bullying para peserta didiknya. Namun yang lebih harus diutamakan dari segala tindakan tersebut adalah melakukan edukasi dan pemahaman terhadap apa itu bullying atau perundungan dan segala hal-hal yang berkait kelindan dengannya.

Hal yang kerap tertukar atau disalah pahami misalnya adalah pengertian dasar tentang perundungan itu sendiri. Tidak sedikit wali peserta didik yang menggeneralisasi arti perundungan dengan segala bentuk perlakuan tidak menyenangkan baik berupa perilaku maupun verbal dari orang lain kepada anaknya. Padahal dalam dunia sosial pendidikan, selain perundungan ada juga yang namanya sanksi sosial. Di mana yang kedua ini lebih menitikberatkan untuk memeriksa perilaku anak para wali muridnya masing-masing.

Sekolah Harus Bersih

Seorang “nabi” dalam dunia pendidikan Brazil, Paulo Freire, mengatakan bahwa sekolah bukan hanya tempat diproduksinya perintah-perintah dari mereka yang disebut guru pada mereka yang dianugerahi predikat murid. Namun justru lebih dari itu sekolah adalah institusi budaya dan politik.

Sekolah harusnya menjadi mata air bening kebudayaan yang mampu menghidupkan pilar dan pasak peradaban. Bukan malah menjadi tempat paling nyaman bagi para laron-laron yang mengeroposkan sendi-sendi kebaikan dalam kehidupan.

Seperti dahulu tatkala kita sekolah, tiap hari deret ubin selalu dititahkan oleh bapak/ibu guru untuk disapu agar kelas menjadi bersih. Begitu pula daun-daun kering yang jatuh di pekarangan kelas diminta untuk disapu agar menjadi rapi dan nyaman. Oleh karena itu, semua ruas birokrasi sekolah dan pekarangan sistem kehidupan bersekolahnya pun harus dibersihkan dari segala praktik-praktik yang justru malah menyalahi kemuliaan pendidikan itu sendiri.

Pos terkait