Kemerdekaan dan Semua Tentang Kita

Bung Karno dan pidatonya
Bung Karno dan pidatonya
banner 468x60

Kemerdekaan dan Semua Tentang Kita. – Dua jilid buku Api Sejarah karya sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara cukup memberikan pandangan lain dalam mengeja sejarah Indonesia. Sejak awal, AMS tampak memakai pendekatan deislamisasi dalam menulis dwilogi bukunya tersebut. Poros baru yang diusungnya dalam penulisan sejarah adalah mengangkat dan meletakkan peran figur santri – ulama yang semestinya hadir dalam pekarangan sejarah bangsa Indonesia.

Namun sebagai sejarah yang anti mainstream, persoalan yang kerap muncul adalah apakah karya AMS ini dapat memenangkan perebutan pengaruh dengan tulisan – tulisan sejarah lain tentang bangsa ini. Tentu semua tidak terlepas dari bagaimana otoritas kekuasaan memilih, sebagaimana salah satu adagium klise bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang (penguasa)?.

Namun era keterbukaan informasi dan ekspresi saat ini ternyata memberikan ruang yang sangat inklusif bagi segala jenis karya untuk berbicara. Tidak terkecuali pada karya yang ditulis oleh AMS, yang juga mendapat ruang gaungnya tersendiri terhadap para pembacanya.

Terasa Semakin Berlalu

Usia kemerdekaan di angka 79 tahun adalah hal yang patut disyukuri sekaligus dievaluasi. Sebagaimana lazimnya manusia dalam satuan gerak revolusi waktunya dalam hidup yang mensyaratkan akan muhasabah. Hal tersebut tidak lain adalah untuk menemukan energi agar dapat melakukan langkah bahkan lompatan lebih maju ke depan.

Usia tersebut bila ditilik dari sejarah-sejarah peradaban dunia, maka masihlah berkisar pada usia yang masih belia untuk ukuran sebuah bangsa. Bahkan masih kalah jauh dengan angka penjajahan Belanda di Indonesia yang menyentuh hitungan 350 tahun, meskipun sejarawan G.J. Resink membuat buku yang menyanggah hitungan tersebut.

Namun, hal yang paling penting untuk direnungkan dari rentang masa dan hitungan angka-angka tersebut adalah berapa tingkat vibrasi getar perjuangan kemerdekaan pada tahun 1945 di tahun 2023 ini. Adakah memori tentang hari kemerdekaan berhenti pada suasana-suasana lomba makan kerupuk, balap karung, panjat pinang dan semacamnya?.

Rasa-rasanya makna kemerdekaan pada tahun 1945 mengalami resistensi untuk menyeberang sampai ke tahun ini. Bila maknanya tidak sampai maka akan tidak jauh beda dengan vibrasi spirit dan etos perjuangannya. Oleh karena itu sejatinya, mesti ada lisan-lisan dan kuli makna yang mampu menembuskan rasa kemerdekaan di tahun 1945 pada generasi saat ini.

Kewajiban untuk Tidak Melupakan

AMS memberikan pengantar singkat yang sangat menggigit tatkala hendak mendedah tentang peristiwa 17 Agustus 1945. Sejarah panjang penjajahan di Indonesia sejak era Nusantara mampu dirangkum secara ringkas dan padat, bukan hanya dalam konteks nasional namun juga dalam konteks geopolitik internasional.

Setelah sekian lama menggelorakan perlawanan terhadap bangsa-bangsa penjajah di bumi Nusantara, sejak era kesultanan dan kerajaan dulu, para generasi dari Tanah Air ini mampu mengukuhkan Kemerdekaan Tanah Air tepat pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hal yang cukup menarik adalah cuplik sejarah yang berada di sekitar peristiwa tersebut. AMS mengatakan bahwa ada beberapa tokoh ulama besar yang menjadi rujukan Bung Karno untuk bertanya meminta pertimbangan.

Syekh Musa adalah ulama pertama yang disebut AMS didatangi Bung Karno. Beliau adalah seorang ulama berusia 80 tahun di daerah Cianjur, Jawa Barat. Sang Proklamator mengenal sosok ulama ahli hikmah ini dari Bupati Cianjur R.A.A. Wiranatakoesoemah yang kelak akan menjadi Menteri Dalam Negeri.

Berikutnya ada nama K.H. Abdul Moekti, ulama dari Persyarikatan Muhammadiyah yang ditemui oleh Bung Karno. Dari sosok ulama asal Madiun inilah Sang Proklamator mendapat rekomendasi tanggal 17 Agustus 1945 untuk dipilih menjadi tanggal pengumandangan kemerdekaan Indonesia.

Untuk peneguhan atas niat dan agenda luhurnya, Bung Karno juga menemui Hadhratu Syaikh Rais Akbar K.H. Hasyim Asy’ari. Dari ulama besar asal Tebuireng, Jombang, Jawa Timur ini Bung Karno mendapat dukungan untuk agenda proklamasi kemerdekaan. Bukan hanya itu, K.H. Hasyim Asy’ari juga membantu Bung Karno dengan memastikan bahwa Angkatan Laut Jepang di Surabaya memberikan dukungan sekaligus menyatakan persetujuan atas dijadikannya Presiden Republik Indonesia.

Pertempuran Abadi dan Penjajahan Berkepanjangan

Gemuruh kemerdekaan dari rongga-rongga manusia yang sudah muak dengan perbudakan dan begitu haus dengan kebebasan telah berhasil menikam teror peluru dan bayonet penjajah. Rakyat negeri ini tampil begitu gagah penuh gairah mematikan imperialisme dengan pergerakan dari berbagai sektornya, mulai dari meja-meja diplomatik sampai dengan bentrokan – bentrokan belantara jalanan.

Dari pergerakan Bung Karno di atas sejatinya dapat terbaca, begitu banyak langkah yang mesti ia tempuh dalam memerdekakan bangsa ini kala itu. Juga dapat kita lihat bagaimana para ulama yang tidak apatis, berpangku tangan atau bahkan mengkhianati cita-cita luhur kemerdekaan. Mereka adalah manusia-manusia langit yang telah menggadaikan hidupnya pada perjuangan luhur penghapusan kolonialisme dan perilaku jahat perbudakan penjajah.

Memori perjuangan yang elit dan harmonis ini mesti diwariskan pada generasi-generasi berikutnya. Kita adalah generasi saat ini yang bertanggungjawab dalam penyeberangan makna itu agar dapat terwariskan dan hidup. Sebab penjajahan bisa jadi esok atau lusa akan kembali datang, entah itu dengan rupa yang sama maupun dengan wajah dan bentuk yang berbeda.

Generasi yang lahir setelah separuh abad kemerdekaan harus mengerti tentang Tanah Airnya yang telah beratus-ratus tahun berkonfrontasi dengan penjajah. Mereka harus selalu menyiapkan diri dalam medan panjang pertempuran abadi dengan berbagai mode. Oleh karenanya agenda pencerdasan bangsa adalah hal yang niscaya untuk memenangkan perang. Tentu kita berharap agar tidak jatuh dalam takdir penjajahan yang berkepanjangan.

Pos terkait