Biografi dan Karya-karya Ibnu Khaldun
Abdul Al-Rahman Ibnu Khaldun lahir pada tanggal 27 Mei 1332 M atau 1 Ramadhan 732 H. Ia lahir di Tunis, Tunisia. Nama lengkapnya ialah Waliyudin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin Al-Hassan. Ia berasal dari keluarga Arab Spanyol yang asal ususlnya dapat ditelusuri kembali ke sebuah suku di Hadramaut, Yaman. Ia merupakan tokoh penting dalam peradaban Islam abad ke 14. Di dunia modern ia menerima berbagai gelar, mulai bapak sosiologi, peletak dasar filsafat sejarah, perintis ilmu ekonomi, hingga pendiri ilmu politik yang brilian.[1] Ibnu Khaldun adalah seorang pengagas filsafat sejarah.
Ibnu Khaldun sendiri memimpin beberapa kantor pemerintahan di Fez (Maroko) sebelum diberhentikan secara tidak hormat pada 1326 M, lalu beralih menjadi pelayan Sultan V di Granda, Spanyol. Ibnu Khaldun menulis kitab Al-Ibar yang Mukaddimah jilid pertamanya. Disisi lain, ia juga menghasilkan karya berupa kitab lain yang tinggi akan nilai sejarah, yaitu; Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun.
Ia juga menulis sebuah kitab teologi berjudul, Lubab Al-Muhashshal fi Ushul Al-Din yang merupakan ringkasan dari kitab Mushashshal Aftar Al-Mutaqqadimin wa Al-Muta’akhirin karya Imam Fakhr Al-Din Al-Razi. Disamping ringkasan, ia juga menulis pendapatnya masalah teologi dalam kitab itu.[2] Sedangkan, karya sejarahnya yang komprehensif berjudul; kitab Al-Ibar wa Diwan Al-Mubtada, Wa Al-Khabar fi Ayyam Al-Arab wa Al-Ajjam wa Al-Barbar (buku tentang ibarat, daftar subjek, predikat, serta sejarah bangsa Arab, Persia, dan Barbar).[3]
Pada saat di Afrika Ibnu Khaldun menempati beberapa jabatan. Dan akhirnya menetap di Qal’at Ibnu Salamah. Tempat ia mengerjakan karyanya tentang sejarah, sampai tahun 1378 M. Pada 1832, ia memulai perjalananya sampai akhirnya berhenti di Kairo dan mengajar di masjid Al-Azhar. 2 tahun kemudian, ia diangkat sebagai qadhi mazhab Maliki di Kairo oleh Sultan Al-Zahir dari dinasti Mamluk (Mesir).
Dalam ilmu sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu sosial dan politik Islam. Ia wafat pada 19 Maret 1406 M atau 25 Ramadhan 808 H di Kairo, Mesir. Temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsepsi sosiologis yang sampai sekarang masih dijadikan bahan utama refrensi bagi seluruh ahli sejarah dan sosiologi di dunia.[4]
Teori kritik atau sanggahan Ibnu Khaldun
Dengan pertautan sejarah pada filsafat, Khaldun tampaknya ingin mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat. Pada pihak lain, filsafat menawarkan kekuatan logis kepada sejarah. Dengan aset logika kritis, seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkritik sumber sejarah baik tulisan maupun lisan sebelum ia sampai pada proses penyajian final dari penyelidikannya. Pandangan inilah yang membawa Khaldun untuk merumuskan tujuh sanggahan dalam historiografi yang digunakan dalam penulisan sejarah, sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang cermat diantaranya ;
Pertama, sikap memihak pada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu. Apabila pikiran dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika menerima suatu keterangan akan menyelidiki dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu sampai ia dapat menyerpih kebenaran dan ketidakbenaran. Oleh karena itu, sikap memihak akan menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan serta kecenderungan melakukan kesalahan.
Kedua, terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, padahal penuturan apapun seharusnya baru bisa diterima apabila telah melakukan ta‟dil dan tajrih (personality critism). Metode ta‟dil dan tajrih adalah satu metode yang disusun oleh para penutur sunnah Nabi. Metode ini berupa suatu penelitian cermat yang dilakukan untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran si penutur hadits.
Khaldun menyatakan bahwa metode ta‟dil dan tajrih merupakan langkah kedua dalam melakukan kritik terhadap suatu informasi sejarah. Langkah pertama adalah menilai apakah informasi sejarah ini sendiri merupakan hal yang mungkin atau mustahil. Metode ta‟dil dan tajrih baru dilakukan setelah diketahui bahwa informasi sejarah itu sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi.
Ketiga, gagal memahami makna yang dilihat dan di dengar serta menurunkan laporan berdasarkan asumsi dan perkiraan. Sebab ketiga ini meliputi pengamatan psikologis yang benar. Jadi, kadang-kadang si pengamat sejarah benar dalam mencatat suatu berita, tetapi ia keliru dalam memahaminya. Dengan kata lain, ia menuliskan berita tersebut berdasarkan persepsinya, yang berbeda dengan hakikatnya, padahal persepsinya itu salah.
Keempat, kecurigaan benar yang tidak didasarkan atas sumber informasi. Secara umum hal ini sering muncul dalam bentuk “kebenaran” yang mutlak yang diberikan oleh pembicara. Dengan kata lain, seorang sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita itu merupakan kebenaran, sehingga tidak perlu diutak-atik lagi.
Kelima, kelemahan dalam mencocokan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya. Seorang pencatat akan merasa puas menjelaskan insiden seperti yang disaksikannya saja, dampaknya dapat memutarbalikan insiden tersebut. Dalam hal ini sejarawan tidak menyadari pemutarbalikan berita-berita itu, maka dengan tidak sengaja ia telah menuturkan berita-berita yang tidak benar dalam penuturannya.
Keenam, kecenderungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan figur-figur yang berpengaruh dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemahsyuran, membujuk-bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka.
Ketujuh, ketidaktahuan tentang hukum-hukum watak dan perubahan masyarakat. Seandainya si pendengar memahami watak peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta kondisinya, maka pengetahuan seperti ini akan membantunya melebihi apapun, dalam menguraikan setiap peristiwa yang dicatatnya dan untuk memilah kebenaran dari kebohongan yang terdapat didalam catatan itu.
Dengan menggunakan kerangka tujuh sanggahan ini, Ibnu Khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ibnu Khaldun memberi istilah ilmu bantu sebagai ilmu kultur atau illm al-Umran. Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibat-akibat dari perbuatan itu, sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur‟an. Kenyataan ini, lanjutnya pernah dikemukakan oleh Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa Mukaddimah Ibnu Khaldun penuh inspirasi Al Qur’an yang didapatkan pengarangnya.[5]
[1] Hasanul Rizka, Ibnu Khaldun Pelopor Filsafat Sejarah Modern, (Jakarta: Surat Kabar Republika edisi Senin 19 Juni 2017), hal. 4.
[2] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 144.
[3] Phillip K Hitti, (Penj) Cecep Lukman Yasin, History of the Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), hal. 722-723.
[4] Muhammad Dhiaudin Rais, (Penj) Abdul Hayyie Al-Kattani, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 146.
[5] Moeflih Hasbullah, Dedi Supriadi, Filsafat Sejarah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hal. 258.