Ada suatu kisah menarik tentang salah satu sufi yang bernama Abu Sa’id Abil Khiar. Beliau adalah seorang penyair sufi yang lahir pada tahun 978 M di Iran, tepatnya Khurasan. Ayahnya adalah seorang dokter yang juga memiliki interest dengan dunia dan kajian per-sufi-an.
Dikisahkan Pada suatu hari ada seorang lelaki muda yang hendak berguru kepada Syaikh Abu Said Abul Khair. Di mana kala itu Sang Syaikh sudah amat popular dengan berbagai pengetahuan dan karomah yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Konon rumah guru sufi tersebut berada di tengah-tengah padang pasir. Ketika lelaki muda itu sampai di rumahnya, Syaikh Abul Khair kedapatan tengah mengaji.
Tatkala Syaikh Abul Khair membaca Surat Al-Fatihah, Ada bacaan yang menurut lelaki muda ini keliru dalam pelafalan makhrajnya. Sehingga ia menilai bahwa Syaikh tersebut kurang fasih dalam membaca ayat al-Qur’an. Sehingga muncullah keraguan dalam dirinya untuk berguru, sebab ia menilai bahwa bagaimana mungkin ia berguru kepada seseorang yang bacaan surat al-Fatihah-nya saja keliru.
Kemudian lelaki muda itu pergi saja tanpa permisi. Namun, tidak begitu jauh setelah ia keluar dari pekarangan rumah Sang Syaikh, ia langsung dijegal oleh seekor singa padang pasir yang besar dan buas. Karena disergap oleh rasa takut yang hebat, lelaki muda itu mundur beberapa langkah.
Akan tetapi rupanya di belakang juga sudah hadir seekor singa padang pasir lain yang menghalanginya. Sadar dirinya dalam bahaya yang akut dengan jalan pikiran yang sudah buntu akhirnya lelaki muda tersebut menjerit sekeras-kerasnya.
Sontak Abu Sa’id yang tengah mengaji mendengar teriakan tersebut langsung berlari keluar. Ia menatap kedua ekor singa padang pasir yang buas itu dan berkata pada keduanya: “Wahai singa, bukankah sudah aku bilang pada kalian jangan pernah kalian mengganggu para tamuku?!.” Mendengar kalam Abu Sa’id kedua singa yang semula terlihat buas itu lalu duduk bersimpuh di hadapan Sang Syaikh.
Sang sufi Abu Sa’id lalu memberikan elusan-elusan pada telinga kedua singa itu dan menyuruhnya untuk pergi. Melihat kejadian yang demikian lelaki muda itu merasa begitu keheranan. “Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar itu Syaikh?”, tanyanya.
“Anak muda, aku selama ini sibuk memperhatikan urusan hatiku. Bertahun-tahun aku berupaya menata hati sampai aku tidak sempat menaruh prasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukan yang ku jalani dalam menaklukkan hati ini, Allah SWT telah menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Termasuk semua binatang buas yang ada di sini dan singa padang pasir yang buas tadi kau lihat, semua tunduk kepadaku,” jelas Abul Khair.
Lelaki muda itu hanya termangu dengan penuh rasa malu. Namun, di sisi yang lain ia begitu terkagum-kagum karomah yang diberikan Allah SWT kepada Syaikh Abu Sa’id. “Engkau tahu kekuranganmu, wahai anak muda?” kata Abul Khair. “Tidak wahai guru,” jawab lelaki muda itu.
“Selama ini engkau terlalu disibukan memperhatikan hal-hal yang lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu sendiri, karena itu engkau takut kepada seluruh alam semesta,” jelas Abu Sa’id. Lelaki muda itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia memantapkan hati untuk menjadi murid Syaikh Abul Khair.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita dapuk dari kisah kebijaksanaan dari seorang wali Allah Abu Sa’id Abil Khair di atas. Beberapa dari kita kerap terjebak dalam buruk sangka yang instan. Sehingga melahirkan berbagai justifikasi – pengadilan – pelabelan gelap yang sangat berbahaya pada seseorang. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana kali pertama lelaki muda tadi tatkala mendengar Abu Sa’id mengaji.
Bisa jadi saat itu ia keliru dalam mendengar. Atau bisa jadi kala itu Abu Sa’id sedang tanpa sengaja keliru makhraj. Pun bila memang benar keliru, mestinya ia memakai adab bertanya memohon penjelasan dalam forum private. Bukan justru malah menarik kesimpulan sepihak yang sempit lagi keliru.
Selanjutnya Syaikh Abu Sa’id mengabarkan kepada kita bagaimana ia menghabiskan banyak dari hidupnya untuk riyadhoh menata hati. Di mana menata hati ini adalah proses yang sangat sulit dan begitu terjal. Orang yang berhasil bersahabat dan merawat hatinya dengan kebaikan dan kesucian maka ia akan memanen berbagai kemuliaan atas taufiq dan keridhoan Allah SWT.
Sebaliknya, mereka yang bertengkar dengan hatinya dan bahkan menelantarkan hatinya sudah pasti akan tersesat dalam Lorong-lorong hidup yang gelap. Hanya pada Allah Ta’ala kita memohon dihindarkan dari keburukan tersebut.
Terakhir, Setiap dari diri kita memiliki rasa takut, namun ketakutan yang akut pada duniawin justru dapat mengikis rasa takut yang seharusnya kita pakai dalam menghamba pada Allah Ta’ala. Ketakutan akan masa depan, ketakutan akan kehilangan seseorang yang kita sayang, ketakutan akan harta yang berkurang, ketakutan akan jabatan yang tak lagi terpandang dan ketakutan-ketakutan duniawi lainnya.
Ketakutan-ketakutan tersebut hanya bisa dilawan dengan ketenangan yang sejati. Ketenangan yang sejati hanya diperoleh dengan nama Tuhan. Karenanya hendaklah kita memulai menanam nama-nama Allah SWT dalam taman hati kita dengan dzikir. Memupuknya dengan riyadhoh dan laku-laku ubudiyyah. Hingga nanti tiba masa ia berbunga ketenangan ruhani yang sejati. Hingga tiba saat ia nanti berbunga ketakutan yang hanya dialamatkan pada Allah SWT.