Pada tahun 2018 Fukuyama kembali menerbitkan salah satu karya terbaiknya yang berjudul Identity; The Demand for Dignity and The Politics of Resentment yang diterbitkan oleh Farar, Staus & Giroux. Setelah sebelumnya menerbitkan buku yang cukup ramai di pasaraya literasi yang berjudul The End of History and The Last Man. Beruntungnya karya ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia oleh Wisnu Prasetya Utama dengan judul Identitas; Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian yang diterbitkan oleh penerbitan Bentang Pustaka pada tahun 2020. Buku ini berbicara politik identitas yang sedang hits menampakan wajahnya di waktu-waktu terakhir ini. Dari titik awal ini Fukuyama membeberkan temuannya bahwa fenomena politik identitas muncul tidak hanya di satu tempat. Namun muncul juga di beberapa negara lain di belahan bumi ini.
Negara Demokrasi Menghadapi Tantangan
Beberapa wajah politik identitas yang mulai muncul ke permukaan dunia dalam dekade terakhir menurut Fukuyama memunculkan tantangan bagi demokrasi di suatu negara. Kasus populisme anti-imigran yang muncul di beberapa negara Amerika dan Eropa seperti yang pernah dialami Polandia, kebangkitan Islam yang terpolitisasi dan kawasan Arab yang memasuki musim semi (Arab Spring), kampanye Donald Trump “Make America Great Again” sampai gerakan #MeToo yang memberikan perluasan pemahaman tentang apa itu kekerasan seksual semuanya tidak jarang memunculkan badai perubahan politik yang sangat kencang.
Data yang diketengahkan oleh penulis dalam buku ini sangat luar biasa komprehensif. Setumpuk persoalan di atas dunia mampu diringkas oleh Fukuyama dalam buku setebal 264 halaman. Di pembukaannya sendiri ia mengatakan bahwa buku identitas ini ditulis dalam waktu yang tidak singkat. Banyak data dan bahan yang harus dikaji dan diamati terlebih dahulu. Namun motif yang paling utama menggerakkan penulis adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presidan Amerika Serikat pada November 2016.
Agama dalam Isu Politik Identitas
Agama menjadi salah satu isu politik identitas yang sangat seksi sampai saat ini. Setidaknya itu yang masih muncul dan bahkan terasa baranya di Indonesia dan beberapa negara Asia sampai saat ini. Bahkan Fukuyama turut menyertakan contoh fenomena Basuki Thahaja Purnama sebagai salah satu bagian dari isu ini ketika terlibat kasus penistaan agama. Namun pertanyaannya apakah hanya di Indoenesia terjadi hal yang seperti itu?, namun ternyata tidak. Di India identitas agama menggumpalkan semangat umat Hindu menghidupkan Partai Bharatiya Janata dalam isu identitas nasional. Begitu juga wajah Buddha militant politik turut menyebar ke beberapa negara seperti Sri Lanka dan Myanmar.
Hari ini menjadikan agama sebagai satu-satunya pengikat identitas suatu negara (nation) masih tampak cukup sulit. Bahkan kerap dicurigai rentan menimbulkan over dosis kekuasaan. Meskipun banyak kaum agamawan yang berupaya keras mengetengahkan fakta masa lalu di mana agama bisa memimpin kehidupan peradaban yang paripurna. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan semua orang yang berada di negara tersebut akan agenda yang mereka usung.
Dalam konteks Indonesia, ada banyak identitas rakyat di dalamnya. Mulai dari agama, suku, wilayah dan lain-lain. Sesungguhnya bila dilihat dalam bentangan kasat mata maka negeri ini sangat rawan akan konflik politik identitas. Oleh karenanya sebagaimana yang dikatakan oleh Fukuyama bahwa seharusnya dalam kultur negara yang demokratis, dinamika politik identitas seharusnya merangsang untuk terus melihat hal-hal yang sama ketika suatu komunitas-komunitas identitas mulai mengendus ancaman satu sama lain. Dalam hal ini identitas nasional harus didefinisikan secara integratif dan menyeluruh dari keragaman masyarakat yang ada. Bukan dengan memunculkan aksi pengucilan, peminggiran bahkan laku-laku diskriminatif.
Ada beberapa pandangan tokoh-tokoh besar yang dikutip oleh Fukuyama dalam menguatkan argumentasi-argumentasinya. Di antaranya adalah pandangan Paul de Lagarde dan Martin Luther King. Dalam kaitannya dengan politik identitas, Lagarde mengatakan bahwa setelah semua rakyat suatu negara memiliki satu kehendak maka segala konflik akan terhapus. Tidak terakomodirnya kehendak dalam unity maka semakin rentan memunculkan konflik. Pandangan yang lebih memikat tentang politik identitas adalah apa yang dipinjam oleh Fukuyama dari Martin Luther yang mengatakan bahwa ia bermimpi kelak 4 anak kecilnya akan hidup di suatu negara yang di mana mereka tidak dihakimi berdasarkan warna kulit tetapi semata karena karakter mereka. Di mana moral internal yang menjadi pijakan diri bukan karena karakter eksternal.