Dari salah satu tulisan hasil buah tangan al-Ustadz Abu Zubair al-Hawary yang menyandarkan tulisannya pada referensi Mu’jam al-‘Ubada, beliau menulis satu kisah tentang salah satu ulama nahwu yang sangat menarik.
Kisah tentang al-Mubarok bin al-Mubarok adh-Dhoriir yang konon adalah seorang ulama ahli nahwu yang sangat mumpuni, sehingga beliau digelari Al-Wajih. Beliau dikenal oleh masyarkat sebagai seorang yang memiliki ke-elok-an akhlak dan serta luhur perilakunya. Memiliki dada yang lapang, penyabar dan bukan seorang dengan figur pemarah.
Suatu ketika, popularitas karakter beliau yang luhur dalam budi dan luas dalam pengetahuan memantik beberapa orang “usil” yang hendak mengujinya. Goal utamanya adalah membuat al-Wajih marah, bahkan terbakar habis dengan kemarahannya. Maka datanglah salah seorang dari sebagian orang tersebut menemui Al Wajiih. Kemudian ia bertanya kepadanya tentang satu musykilah dalam ilmu nahwu.
Menanggapi pertanyaan dari orang tersebut, Syaikh al-Wajih menjawab dengan sebaik-baiknya jawaban dan memberikan kepadanya jalan yang benar. Namun orang tersebut menyalahkan jawaban yang diberikan oleh sang Syaikh. Adakah sang Syaikh tersulut amarahnya?. Justru sebaliknya, Syaikh justru kembali mengulangi jawabannya dengan bahasa yang lebih halus, tertata dan mudah dicerna dari jawaban yang pertama kali diberikan, serta ia jelaskan hakikatnya.
Namun rupanya orang itu kembali menyalahkan Syaikh al-Wajih dengan jawaban-jawabannya. Bahkan dibubuhi dengan kalimat-kalimat perendahan terhadap beliau. Di mana orang tersebut melafalkan kekecewaannya bertemu dengan Syaikh al-Wajiih yang tidak secerdas sebagaimana yang di-rumpi-kan oleh orang-orang sekitar.
Namun menanggapi ucapan orang tersebut, dengan segala kerendahan hati Syaikh al-Wajih menawarkan diri untuk kembali menjelaskan jawabannya dengan cara dan kalimat yang lebih sederhana lagi. Dengan harapan agar dapat dengan mudah ditangkap penjelasannya oleh orang tersebut. Namun alih-alih mendapat respon yang lebih baik justru malah semakin garang Sang Syaikh dituduh berbohong dan bebal.
Maka Syaikh al-Wajih pun dengan balutan tawa berkata, “Aku dapat mengerti maksudmu, dan aku pun sudah tahu tujuanmu. Menurutku engkau telah telak kalah. Engkau bukanlah sosok orang yang bisa membuatku marah selama-lamanya”.
“Anakku, konon ada seekor burung yang duduk di atas punggung gajah, ketika dia hendak terbang ia berkata kepada gajah, ‘Berpeganglah kepadaku gajah, aku akan terbang!’. Gajah berkata kepadanya, ‘Demi Allah hai burung, aku tidak merasakan keberadaanmu ketika bertengger di punggungku, bagamaimana aku berpegang kepadamu saat engkau terbang!?’”.
“Demi Allah anakku!, engkau tidak pandai bertanya juga tidak paham jawaban, bagaimana aku akan marah kepadamu?!”. Pungkas Syaikh al-Wajih.
Menjaga adab adalah keharusan bagi seorang hamba. Lebih-lebih seorang yang sedang mencari cahaya di jalan-Nya. Ataupun seorang cendekiawan yang tengah berjuang menyemai benih pengetahuan di tengah rimba sosial masyarakat. Sebuah savana di mana realita hidup muncul silih berganti menguji secara dramatis.
Dalam kitab Min Ma’arif al-Sadat al-Shufiyyah karya Muhammad Khalid Tsabit yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Syaikh Muhammad Alwi al-Maliki pernah mengatakan bahwa sesungguhnya celakanya Iblis itu bukan dikarenakan ia kurang memiliki ilmu, namun justru karena ia kurang memiliki adab.
Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Abi Hatim yang mengutip Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa pada awalnya Iblis yang bernama ‘Azazil termasuk jajaran malaikat yang mulia. Sayangnya setelah itu ia berubah menjadi sosok yang jahat. Meskipun ada juga keolmpkok ulama yang mengatakan bahwa Iblis bukanlah dari golongan malaikat sebagaimana yang diketengahkan oleh Imam Ali al-Shabuni.
Fenomena yang terjadi pada Iblis itu bisa saja menimpa pada seorang hamba. Setelah sekian lama bertengger pada puncak kealiman ternyata dapat terperosok pada jurang kehinaan. Bukan karena ia bodoh, tapi karena ketaklukannya terhadap adab yang seharusnya tidak ia miliki, yakni kesombongan yang menghanguskan kesabarannya dalam ta’at kepada Allah SWT.
Dari Syaikh al-Wajih, seorang nuhat dan juga sufi kita belajar tentang kesabaran dalam ta’at untuk tidak takluk pada cengkraman amarah. Ujian bagi seorang hamba yang berjuang menyemai pengetahuan akan selalu datang dari berbagai penjuru. Tidak semua orang memiliki kesenangan terhadap laku yang kita lakukan, meskipun dalam koridor kebaikan. Lebih-lebih yang kita semai adalah benih-benih pengetahuan ruhani. Di mana ilmu, ucap dan laku harus menyatu satu sama lain.
Lebih dari itu, dari Syaikh al-Wajih juga kita belajar tentang tidak spaneng-nya beliau dalam menghadapi orang atau apapun yang datang hendak “usil” kepadanya. Beliau justru menanggapinya dengan candaan dan gelakan tawa, tanpa menghadirkan ekspresi ke-mangkel-an dan kemarahan. Namun tetap di sela-sela candaannya itu ia semburatkan kalam-kalam hikmah ilahiyat yang dapat menikam kebebalan ruhani seseorang. Sehingga kejernihan ruhani orang tersebut dapat berpendar setelah jelaga kotor kebebalannya rubuh disepuh.