Penulis teringat ceramah yang disampaikan di salah satu masjid di kota istimewa ini yang membuat ingin kembali menjamahnya dan me-muraja’ah. Ketika ceramah pembahasannya adalah salah satu tokoh muslim dan auto mengingatkan pada suatu tempat kira-kira 12 tahun yang lalu, ya tentang tasawufnya, tentang ilmu alam metafisika dan lain-lain, nama tokohnya adalah Imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali yang lahir di Thus, khurrasan pada tahun 450 H (1072 M) merupakan anak dari seorang ayah yang buta huruf, tetapi ia sangat berhati-hati mengenai pendidikan anaknya. Al-Ghazali sendiri dipercayakan oleh ayahnya kepada seorang sufi yang sholeh yang mengajarkannya menulis dan tempat ia di didik.
Tidak hanya sendiri Al-Ghazali juga ditemani oleh saudaranya Ahmad. Di tempat sufi tersebut mereka diajar dan dibesarkan dengan suasana yang miskin dan hina, sehingga tidaklah mungkin bagi mereka untuk melanjutkan pelajaran. Hingga pada suatu waktu Al-Ghazali pergi ke Jurjan di bawah bimbingan Nashr al-Ismaili.
Ketika berada dalam perjalanan pulang dari Jurjan,kereta yang ditumpangi al-Ghazali dicegat oleh perampok dan ia kehilangan buku catatannya yang sangat berharga sampai berusaha mengejar perampoknya dan memohon agar mereka mengembalikan catatan-catatan kuliahnya.
Setelah berhasil mendapatkan buku catatannya, dibacalah seluruh kandungannya hingga dia hafal sepenuhnya. Setelah itu ia pergi ke Nisyapur untuk menjadi murid dari Abdul Malik Ma’ali Imamul Haramain yaitu seorang wakil kepala Universitas Nizamiyah di Baghdad. Al-Ghazali belajar tentang dasar-dasar semua pengetahuan dari gurunya dan membuat langkah-langkah yang luar biasa dan sama sekali menghinoptis pikiran orang-orang Persia dengan keunggulan-intelektuaknya, hingga ia menggeser kemasyhuran gurunya sendiri.
Dalam sebuah buku yang menjelaskan tentang biografi penulis Ihya Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) di dalamnya tertulis bahwa Muhaddits Zainuddin Iraqy berpendapat,”sebagai seorang ulama, al-Ghazali telah berhasil dalam upayanya untuk meringkaskan dan kadang-kadang menjelaskan ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits dalam karya abadinya yang – disamping Al-Qur’an dan Hadits – merupakan buku petunjuk praktis terakhir dan agama sejati yang ada.
Dari histori singkat al-Ghazali di atas, penulis mencoba mengingat kembali beberapa tata etika dan tugas-tugas seorang murid menurut Al-Ghazali yaitu, Pertama mendahulukan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Kedua menyedikitkan yang berhubungan dengan kesibukan dunia atau bisa dikatakan minimal seimbang dan lebih bagus berat hubungan akhirat. Ketiga tidak merasa pintar atau sombong karena ilmu dan tidak menentang kepada guru.
Semoga kita termasuk manusia yang selalu berusaha untuk menuntut ilmu dari siapapun yang baik untuk kehidupan dan menjadikan tidak lupa dengan kehidupan di masa yang akan datang (akhirat).