Ilmu Nahwu merupakan salah satu disiplin ilmu, layaknya ilmu lain yang pernah mengalami puncak paradigma keilmuan. Pada masa awal dilahirkannya ilmu nahwu bertujuan sebagai alat untuk memudahkan pembelajaran bahasa dan isi kitab al-Quran yang fasih dan benar.
Indikasinya ilmu nahwu yang dihasilkan adalah demi kepentingan ilmu itu sendiri yang jauh dari realita masyarakat arab modern. Bahkan mengalami titik kulminasi, nawhu menjadi “momok” ilmu yang sulit dan rumit untuk dipelajari.
Hal itu disebabkan kemandegan para linguis klasik dalam mengembangkan sumber ilmu nahwu dan metodologi penelitian linguistik arab. Sumber ilmu nahwu oleh mereka dibatasi pada al-Quran, hadist dan puisi. Sehingga di era modern kontemporer ini, bahasa arab sulit untuk menjadi pendidikan dan sains khususnya dalam konteks ilmu pengetahuan.
Sementara metode, yang digunakan para linguis klasik seperti qiyas, ijma, ta’lil, ta’wil, istihsan, dan istihsab. Menghasilkan pengetahuan ilmu nahwu yang bersifat filosofis-ideologis-preskriptif. Filosofis artinya metode pengembanganya didominasi menggunakan logika, ilmu al-kalam dan ushul al fiqh. Ideologis maksudnya dalam pengembangan ilmu klasik didasarkan pada komunitas atau madzhab tertentu. Preskriptif artinya metode ilmu nahwu hanya merujuk pada peristiwa yang dipandang benar atau salah saja, bukan disajikan apa adanya sesuai apa yang ada di masyarakat Arab.
Berangkat dari krisis nahwu itu para linguis modern ; Ibrahim Mustafa (1888-1962), Abbas Hassan (1890-1978) Mahdi al Makhzumi (1919-1993), al-Jawari (1898-1924) dan yang tersohor, sering menjadi rujukan linguis modern yaitu Syauqi Dhoif (1910-2005) memperbarui nahwu klasik dan menyusun nahwu modern.
Paradigma baru ini menawarkan ilmu nahwu modern yang bersifat ilmiah-deskriptif-edukatif. Ilmiah artinya ilmu pengetahuan nahwu baru (jadid) berdasarkan penelitian metode ilmiah. Maksud dari deskriptif yaitu nahwu jadid sesuai realita apa yang ada di Arab masa sekarang. Edukatif artinya nahwu jadid ini merupakan alat mempermudah mempelajari bahasa arab dan membedakan nahwu secara umum (nahwu ta’limi) dengan nahwu para mereka yang berkonsentrasi di bidang nahwu (nahwu ‘ilmi).
Biografi Imam Nahwu Modern Syauqi Dhoif
Dalam kajian sastra dan bahasa arab ada dua tokoh besar yang memiliki nama Ahmad Syauqi. Kedua tokoh tersebut berasal dari Mesir, namun berbeda pada konsentrasi ilmu. Pertama, Ahmad Syauqi ibn Ali ibn Ahmad (1868-19320), pakar sastra yang masyhur dalam bidang hukum. Kedua, Ahmad Syauqi Abd as Salam Dhoif, pakar sastra dan bahasa arab khususnya (ilmu nahwu) dan filolog. Di sini penulis akan memaparkan Ahmad Syauqi sang ahli pakar nahwu.
Syauqi lahir di Mesir tepatnya di kota Demeitta (Dumiyat), kamis 13 januari 1910 M atau 1 Muharram 1328 H. Sang pembaharu ini bukanlah asli orang Mesir, melainkan keturunan dari ayah berasal dari Kurdi dan keturunan Arab sedangkan ibu mewarisi darah Turki dan keturunan Yunani. Ayahnya yang merupakan alumnus sekolah Al-Azhar. Dan seorang penganut sufi yang setiap hari membaca kitab Dalail al-Khairat.
Pendidikan formal Syauqi dimulai dari belajar di Madrasah “al-Awwaliyah” pada tahun 1916 (setara Sekolah Dasar) di desa Awlad Hammam. Namun, Syauqi belajar di madrasah tersebut hanya satu tahun karena harus pindah ikut dengan kedua orang tuanya di kota Dameitta. Selain pendidikan formal, pendidikan informalpun diketatkan oleh ayahnya dengan diajari ilmu agama dan hafalan al-Quran sejak tahun 1916-1920.
Setelah Syauqi Dhoif berumur 10 tahun, ia telah hafal al-Quran. Pada tahun 1920 ayahnya memasukannya pada lembaga formal Madrasah al-Ma’had ad-Din (setara Sekolah Menengah Pertama) di Dameitta. Ketika di sekolah ini Syauqi Dhoif sudah mulai membaca tulisan-tulisan tentang politik dan sastra karya Taha Husain (1889-1973), Muhammad Husain Haikal (1888-1956), Mustafa Sadiq ar Rafi (1980-1937) dan Ibn Hisyam (1309-1360) kitab Qathr an-Nada.
Pada tahun 1926 Syauqi Dhoif melanjutkan pendidikanya ke Ma’had az-Zaqazid as-Sanawi (setara Sekolah Menengah Atas). Sewaktu di ma’had ini Syauqi lebih memperdalami sastra, karena kecintaannya terhadap sastra Syauqi ingin melanjutkan di Perguruan Tinggi. Setelah lulus 1928, Syauqi Dhoif melanjutkan ke Dar al-Ulum dan masuk di Tajhiziyah (program persiapan masuk Perguruan Tinggi). Program ini khusus untuk persiapan bagi para pelajar dari lembaga pendidikan Agama seperti Al-Azhar, yang ingin masuk Fakultas Adab Universitas Kairo.
Kemudian Syauqi Dhoif masuk Universitas Kairo tahun 1931, Fakultas Adab Program Studi Bahasa Arab. Disinilah Syauqi, titik awal pergeseran pola pikir bidang sastra. Jika sebelumnya hanya bisa membaca karya, di Universitas ini Syauqi dapat berguru, berdiskusi dan berdebat langsung dengan para linguis tersohor; Taha Hussain, Ahmad Amin, Amin al Khulli. Syauqi melanjutkan pendidikanya sampai menjadi seorang Profesor di Kairo. Syauqi Dhoif wafat pada 23 maret 2005 M dalam usia 95 tahun.
Fase pemikiran Sang Pembaharu Nahwu
Sang penyair legendaris dari Mesir ini, banyak mempengaruhi disiplin ilmu nahwu di Arab bahkan dunia. Secara kronologis, fase pemikiran Syauqi dibagi empat yaitu fase fondasi satra, fase pengembangan sastra dan fondasi nahwu, fase pengembangan nahwu, dan fase aplikasi.
Pertama fase fondasi sastra (1920-1947), ini ketika Syauqi masih di bangku sekolah dan kuliah. Ketika masih tingkat sekolah ia sebagai “penikmat”, baru setelah masuk kuliah di samping membaca Syauqi juga mengaplikanya dalam bentuk karya ilmiah. Karyanya yang merupakan tesis magister dan disertasi doktornya Syauqi memposisikan diri sebagai kritikus dan sejarawan sastra arab.
Kedua fase pengembangan sastra dan fondasi nahwu (1947-1980), pada fase ini merupakan masa keemasan bagi Syauqi. Puluhan karyanya dapat dipetakan; sejarah sastra arab (9 karya), model sastra arab (3 karya), kritik sastra arab (5 karya), biografi sastra arab (7 karya), metode penelitian sastra (7 karya). Dan dua karya yang menjadi referensi primer para linguistik nahwu yaitu ar Rad ‘ala an Nuhah li ibni Mada al Qurtubi (1947) dan al Madaris an Nahwiyah (1978).
Ketiga fase pengembangan nahwu (1980-1994), merupakan masa Syauqi merekontruksi nahwu. Berangkat dari keaktifan di Majma’ Mesir. Pada saat itu, Majma’ Mesir sering mengkampanyekan pembaharuan nahwu terutama pembelajaran. Penyebabnya karena nahwu klasik dianggap tidak lagi adaptif dalam perkembangan dan kurang aplikatif dalam mempermudah komunikasi bangsa Arab sehari-hari.
Berangkat dari krisis nahwu dan ide-ide pembaru dari Majma’, serta inspirasi dari karya-karya dan dosen. Syauqi mulai mencoba memperbarui nahwu. Melalui empat karya yang saling bersinambungan yaitu Tajdid an-Nahwi (1981), Taisir an-Nahw iat-Ta’limi (1986), Taisirat Lughowiyah (1990), dan Tahrifat al-Ammiyah li al-Fusha fi al-Qawa’id wa al-Bayyinat wa al-Hurf wa al-Harakat (1994).
Fase terakhir adalah fase aplikasi dalam bidang keislaman (1994-2005), pada fase ini karya-karya Syauqi lebih pada penerapan teori-teori sastranya. Bahkan merambah pada disiplin ilmu lain khususnya bidang keislaman, seperti; ‘Ulum al-Qur’an, Qira’at, dan Tsaqafah. Walaupun, pada fase ini Syauqi tidak melahirkan karya bidang nahwunya, Syauqi lebih didedikasikan masa khidmah di Majma’ Mesir hingga tahun 2000 atau menjelang akhir hayatnya.