Buku dalam Kapasitas Pengetahuan Kesarjanaan Muslim

banner 468x60

Peran buku dalam sejarah pengetahuan di Barat maupun di Timur, memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk karakter keilmuan seorang sarjana Muslim. Tak heran kita sering mendapati kisah tentang bagaimana penghormatan seorang sarjana muslim terhadap buku, dari mulai bagaimana memperlakukan buku dengan penuh hormat dengan cara menyimpan dan merawat buku, hingga membeli, meminjam serta menyalin buku dan lain sebagainya mereka perhatikan.

Tidak Memenuhi Etika

Read More

Akan tetapi sangat disayangkan, hari ini sebagian sarjana muslim cenderung tidak memperhatikan itu semua. Contohnya beberapa kasus yang sering terjadi adalah perihal meminjam buku. Orang yang meminjam buku seolah-olah tak memiliki beban untuk segera mengembalikan buku yang telah dia pinjam, baik tidak diminta secara langsung  maupun diminta secara langsung untuk segera mengembalikan buku yang telah dipinjam tersebut.

Di atas merupakan salah satu dari ratusan kasus terkait perihal etika meminjam buku. Kasus kedua yang sering terjadi pula adalah buku yang telah dipinjam kemudian dipinjamkan lagi kepada orang ketiga tanpa sepengetahuan pemilik buku, dan lebih parahnya lagi buku yang di pinjam di corat-coret untuk menandai halam tanpa seijin pemilik buku. Maka sudah sewajarnya para sarjana muslim hari ini, belajar mengenai etika kesarjanaan muslim mengenai buku dalam kapasitas sumber pengetahuan.

Buku dalam kapasitas pengetahuan, tentu sangat dibutuhkan dalam semua upaya kesarjanaan yang bermanfaat. Karena itu seyogyanya, seorang pelajar mesti berusaha sebisa mungkin untuk memperolehnya. Baik dengan cara membeli, menyewa, meminjam maupun menyalinnya. Sebab itu semua merupakan jalan untuk memperoleh pengetahuan di dalamnya.

Meskipun demikian, seorang muslim yang hendak memperoleh kesarjanaannya tidak boleh mengklaim pemerolehan, pengumpulan dan pemilikan sejumlah besar buku. Hal tersebut tercantum dalam syair Ibn Yasir;

Jika engkau tidak menyimpan banyak pengetahuan dalam ingatanmu, maka tak ada gunanya engkau mengumpulkan buku.

Membeli atau Menyalin Buku

Jika berkemampuan membeli buku, janganlah bersusah-payah menyalin buku. Lebih baik menggunakan waktu untuk mengkaji buku daripada menyalinnya. Hal tersebut tercermin pada abad kedua belas lalu, kesarjanaan muslim sekaligus seorang penyair Yehudah bin Tibbon, membanggakan diri atas kemampuannya membeli buku-buku yang dibutuhkan anaknya untuk belajar. Sebab dia tidak usah bersusah payah mencari tempat penyewaan buku, dan pada para padri Dominikan abad ke-13 lebih suka mengkaji buku daripada menyalin.

Menurut Ibn Jama’ah yang merupakan ulama, qadi di Syam dan Mesir berpendapat bahwa janganlah puas hanya dengan meminjam saja, tapi jika memiliki kemampuan bisa dengan membeli atau menyewanya. Tentu dengan catatan bahwa si pelajar harus menyalin hanya buku-buku yang terlalu mahal untuk dibeli atau meminta bantuan kepada orang lain untuk menyalinnya.

Meminjam Buku

Ada sebuah hadits mengenai anjuran untuk meminjamkan buku, yaitu hadits yang disampaikan oleh Sufyan al-Tsauri: “Barangsiapa yang kikir dengan ilmu, hendaklah dia mengharapkan tiga bencana. Dia mungkin akan lupa akan ilmunya, atau dia mati tanpa sempat memanfaatkan ilmunya, atau dia mungkin akan kehilangan buku-bukunya”.

Dari perkataan Sufyan al-Tsauri di atas mengandung makna yang berarti bahwa ketika seseorang meminjamkan bukunya, itu berarti dia sedang mengamalkan ilmunya dan dia juga sedang menghindarkan diri dari tiga bencana ilmu yang tidak diharapkan terjadi pada kesarjanaan muslim.

Adapun etika kewajiban yang harus diperhatikan si peminjam buku ketika hendak meminjam, ialah tidak berlambat-lambat mengembalikan buku yang dipinjamnya tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Sebab etika kewajiban atau deontologi betitik tolak pada kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Misalnya, meminjam buku itu baik apabila digunakan dengan baik, tapi bisa menjadi jelek jika digunakan oleh kehendak yang jahat.

Apalagi si pemilik buku sampai meminta bukunya untuk segera dikembalikan, maka tindakan menahan buku sangatlah tidak dibenarkan dan bisa termasuk perbuatan dzalim. Para ulama terdahulu seringkali mengkritik hal tersebut melalui prosa dan syair-syair puisi, tentang keterlambatan pengembalian para peminjam buku. Salah satunya datang dari Al-Khatib yang mengumpulakannya dalam kitab Jami’ li-Akhlaq Ar-Rawi wa Al-Sami’.

Selain Al-Khatib, Al-Zuhri juga meriwayatkan permasalahan di atas dengan sebuah syair: “Waspadalah terhadap penipuan berkenaan dengan buku”, yakni dengan tidak mengembalikan buku kepada pemiliknya. Al-Khatib mengatakan: “Karena sering kali buku yang dipinjam tidak dikembalikan kepada pemiliknya, maka sedikit sekali orang yang mau meminjamkan bukunya kepada siapa pun”.

Disamping itu, koreksi-koreksi atau coretan-coretan dalam sebuah buku milik orang lain hanya boleh dilakukan atas izin pemiliknya. Koreksi seperti catatan pinggir tidak boleh dilakukan terhadap buku pinjaman. Namun apabila kita yakin bahwa si peminjam buku menyetujui dengan koreksi yang kita lakukan, maka itu diperbolehkan.

Buku pinjaman tidak boleh dipinjam kepada orang ketiga, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Buku juga tidak boleh diberikan sebagai jaminan, apalagi diletakkan diatas tanah dengan tanpa alas. Hal tersebut dapat merusak cover dan bahkan isi buku.

Terakhir, buku pinjaman tidak boleh di salin (baik keseluruhannya atau sebagiannya) tanpa izin dari pemiliknya. Namun, apabila sebuah buku  telah diwakafkan dan tanpa aturan atau syarat lebih lanjut, dibiarkan untuk digunakan oleh mereka yang berkepentingan, maka tak ada sesuatu pun yang dapat mencegah  orang untuk menyalinnya.

Hal senada pernah dilakukan oleh Ibnu Khaldun. Beliau pernah mewakafkan satu set kitab Tarikh­-nya ke sebuah perpustakaan di Fez dengan ketentuan bahwa buku-buku tersebut boleh dipinjamkan untuk sekali pinjam selama dua bulan kepada orang yang bisa dipercaya. Ibnu Khaldun juga membuat ketentuan bahwa si peminjam harus diizinkan tidak hanya mengkaji, tapi juga menyalin buku-buku tersebut.

 

 

Related posts