Dalam salah satu chapter buku Membumikan Islam yang ditulis oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif atau yang lebih akrab dipanggil Buya Syafi’i beliau menulis tentang agama dan permasalahannya pada abad XXI dalam tinjauan Islam. Membaca tulisan Buya dalam chapter ini sama halnya di beberapa tulisan yang lain tetap menunjukkan sisi figurnya yang indigenous. Watak dasar pemikiran yang aktualitatif dari doktrin Islam tetap disuarakan dengan kontekstual dan otentik meskipun pemikir satu ini tidak sebentar menimba pengetahuan di luar negeri. Beliau selalu historis dalam pengetahuan tapi tetap tidak melenyapkan sisi normatifitas dalam memandang persoalan dan keyakinan.
Penulis tidak hendak mengaudit struktur pemikiran atau logika kepenulisan Buya di sini. Dalam arti tetap membiarkan buah karya pemikirannya demikian dengan segala pikatannya. Namun justru ada beberapa petikan pemikiran yang sangat menarik untuk diulas. Dari ketertarikan ini penulis ingin ikut menyampaikan – setidaknya dari alam perspektif penulis sendiri – beberapa hal. Mungkin bisa jadi ini hanya sebatas komentar atau catatan pinggir saja dari salah satu chapter tulisan Buya Syafi’i dalam buku Membumikan Islam.
Iman dan Implikasinya bagi Kehidupan
Buya Syafi’i mengatakan bahwa beriman kepada Allah SWT Yang Maha Esa haruslah punya implikasi pada kehidupan kolektif umat manusia. Implikasi yang dimaksud oleh Buya adalah dampak positif yang membuat orang-orang disekitar terpapar karenanya. Salah satu wujudnya adalah implikasi positif dalam bidang keadilan sosial-politik dan kesejahteraan sosio-ekonomi.
Doktrin keimanan kita pada Tuhan Yang Maha Esa menempati posisi paling wahid dalam hierarki rukun iman harus nyata bersifat aktual. Tidak menjadikan diri acuh mencampakan problematika sosial. Sehingga menambah tinggi tumpukan pekerjaan dalam bidang sosio-politik umat. Juga tidak menambah runyam traffic sosio-ekonominya. Bila keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa tidak mewujudkan perbaikan dalam ruang sosio-politik dan sosio-ekonomi di sekitar, justru mengukuhkan eksklusifitas diri dan apatisme sosial berarti ada yang keliru dari cara kita mengimani Tuhan. Di mana bila tidak segera dibenahi akan memunculkan akan memunculkan keterputusan doktrin keesaan Allah SWT dengan doktrin kesatuan manusia.
Gagasan-Gagasan yang Ditolak
Sisi otentik pemikiran Buya Syafi’i terlihat salah satunya dari konsistensi pandangan beliau yang menolak gagasan sekulersime ateistik dan komunisme. Bila sekulerisme ateistik dan komunisme adalah baju, maka substansinya adalah peminggiran atau pelenyapan values agama dalam sendi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bagi Buya, sebuah pandangan hidup atau ideologi yang berangkat dari sikap anti-Tuhan mestilah menjurus kepada sikap anti manusia. Faktanya memang tragedi kemanusiaan yang tragis dalam sejarah umat manusia mengiyakan apa yang dipikirkan Buya tersebut. Sehingga kecenderungan saat ini banyak orang yang kembali ke pangkuan agama dan gagasan-gagasan demokratik.
Kehampaan Ruhani
Namun ternyata persoalan tidak berhenti sampai di sini. Setidaknya ada dua catatan berikutnya pasca kembalinya kebanyakan orang ke pangkuan agama. Pertama mereka yang mengalami kehampaan ruhani ada yang masuk dalam jalan sufi. Bagi Buya, sufisme bisa menjadi penawar bagi ruhani yang hambar.
Tapi itu bukan obat yang permanen. Pasalnya persoalan kesejahteraan dan keadilan harus pula diselesaikan dengan koridor mekanisme dunia yang rasional. Bukan justru dengan disikapi dengan ritual – institusional belaka. Selain itu, Buya juga tidak sepakat dengan jalan sufisme yang cenderung membuat konflik antara jiwa – raga. Sebaliknya tasawuf justru harus memunculkan ikatan yang kuat lagi jernih antara jiwa dan raga dalam memurnikan fitrahnya.
Kedua, tantangan yang muncul saat banyak orang berbondong-bondong kembali ke pangkuan agama karena kejenuhan hidup adalah sikap beragama yang sempit. Syahwat beragama yang deras menggelinjang alih-alih menjadi missionari kedamaian Tuhan namun justru adalah menjadi polisi kebenaran. Ajaran agama diaktualisasikan dengan kaku, memandang hidup hanya hitam – putih atau halal – haram. Terperosok dalam romantisme masa silam dan pengkultusan simbolik sehingga agama yang seharusnya menjadi solusi justru di tangan manusia-manusia berotak kecil berubah menjadi klaster konflik kemanusiaan baru.
Buya selalu mendukung agama menjadi salah satu bingkai peradaban. Memang tidak sedikit dilemanya, juga banyak artikel-artikel yang mengupas itu. Namun tidak usah lantas menjadikan kita khawatir secara berlebih. Kita tetap harus memupuk rasa optimism ini untuk tumbuh dan menjadi mekar. Asalkan kita bia mengubah mode ekspresi keberagamaan kita menjadi lebih dewasa baik secaara intelektual maupun spiritual.