Catatan Ngaji Nahwu Sufi Eps 3: Rahasia di Balik Nahwu Sufi

banner 468x60

Pada pertemuan ke-3, ngaji nahwu sufi, kami membaca argumentasi penulis tentang urgensi membaca apa yang ada di balik bahasa. Penulis mengkhawatirkan orang-orang yang belajar nahwu hanya terlena dengan apa yang tertulis, melupakan apa makna yang tidak tertulis. Jika dimaknai bahasa adalah simbol, maka bahasa adalah representasi dari realita yang terkadang belum tentu menggambarkan makna sesungguhnya. Simbol hanya mewakili makna “dekat” yang tidak secara otomatis merepresentasikan kejadian senyatanya. Maka tugas linguist adalah mencari makna “jauh” dibalik makna “dekat” tersebut.

Makna Dekat dan Makna Jauh

Read More

Nahwu sebetulnya tidak saja konstruksi-teoritik tata bahasa Arab yang lahir hanya dari bahasa dan untuk bahasa. Lebih dari itu nahwu merupakan hasil refleksi-kontemplatif para linguis Arab atas realita hidup masa lalu (sejarah) sekarang (dunia) dan hidup yang akan datang (akhirat). Bagi seorang lunguist-sufi, bahasa lisan tidaklah begitu penting untuk diperhatikan apalagi harus mengada-ngada memperbaikinya, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki hati.

Mengapa demikian?. Karena dengan memperbaiki hati, seseorang akan mendengarkan untaian-untaian kalimat Allah yang pada akhirnya lisanya akan mengucapkan hal yang sama. Dengan bahasa lain, indahnya kalimat yang keluar dari lisan seseorang tergantung dari keindahan hatinya. Maka sudah sepantasnya bagi seorang salik tidak hanya fokus dengan indahnya bahasa melainkan harus mencari makna dibalik bahasa itu sendiri.

Mengkonstruksi dan mensinergikan serta mendekatkan dua makna (makna dekat dan makna jauh) bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai ilmu gothak-gathik kepada Allah maka usaha itu dilakukan. Dirintis sejak Ibnu Ajibah dilanjutkan al-Kuhin dan akhirnya beliau menulis kitab, di mana kitab itu kini kita baca yang oleh penulisnya diberi judul منية الفقير المتجرد وسيرة المريد المنفرد  (haparan seorang fakir yang sudah tajrid dan perjalanan seorang murid yang kesepian).

Pertama-tama perlu diperjelas dulu makna kata mutajarrid dari kata tajarrada yang artinya sepi, sendirian, asing dan meditasi dan kata-kata sejenisnya. Bagi kalangan sufi, terlebih shohibu al-Hikam, Ibnu Athoillah, manusia itu terbagi menjadi dua yaitu manusia tajrid dan manusia asbab. Manusia tajrid adalah manusia yang peran kemanusiannya dilakukan secara tidak langsung, dia lebih banyak berinteraksi dengan Allah, diam diri di rumah adalah pekerjaannya dan berkholwat adalah aktivitasnya.

Manusia tipe pertama ini adalah manusia yang berorientasi pada pembersihan jiwa, syahwatnya sudah tunduk atas perintahnya, pikirannya sudah menembus dinding hijab duniawi dan ruhnya sudah bersemayam atas ruh-Nya.  Berkat kebersihan jiwanya, kedalaman spiritualnya dan kemesraan hubunganya dengan Allah, maka alampun, lingkunganpun serta makhlukpun tundak atas kehendaknya. Allah menjadi “malu” padanya tatkala tidak memenuhi permintaannya, Allah menjadi “pengganti” atas apa yang dia dengar dan lihat. Itulah manusia tajrid, tak tampak kiprahnya di dunia nyata, tapi terasa hembusan puji-pujian, doa-doa dan mantra-mantranya.

Jenis manusia kedua adalah manusia asbab, manusia yang kiprahnya langsung berada ditengah-tengah masyarakat, menjadi penggerak masyarakat dan keberadaannya dinanti masyarakat. Manusia tipe kedua ini lebih cocok terjun menangani persoalan-persoalan masyarakat baik problem sosial, ekonomi maupun politik. Ibadahnya adalah berinteraksi dengan khalayak, membantu sesame adalah cara dia meningkatkan kwalitas spiritual. Manusia asbab rizkinya bergantung pada kepiawaian dia bergumul dan menjadi bagian dari masyarakat. Doanya adalah aktivitas dia, puji-pujiannya adalah kiprahnya dan mantranya adalah berbuat baiknya pada sesama. Dua tioe manusia tersebut, tajrid dan asbab memiliki peran masing-masing yang bisa saling melengkapi dan hendaknya tidak saling iri.

Menjadi Wali Allah

Kitab Munyatu al-Faqir ditulis atas dua argumentasi yaitu; Pertama,  karena sang penulis gandrung akan ilmu bathin. Kedua karena ungkapan-ungkapan orang yang memiliki bashiroh adalah mutiara yang penting untuk dijelaskan.

Mempelajari dan gandrung atas ilmu bathin, tasawuf, menurut kaum sufi mempunyai dua manfaat; Pertama, dapat menghantarkan seseorang pada keabadian dan kehakikian kebahagiaan. Selain itu, bagi para pengkajinya, ilmu bathin dapat menghindarkan diri dari meninggal secara su’ul khatimah.  Mengingat ilmu bathin berorientasi pada keterpujian akhlak, pendalaman spiritual, kesucian jiwa, kesatuan rasa dan laku serta perjumpaan dengan sang pemilik jagat raya.

Syaikh Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quut al-Qulub dan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din dengan mengutip pendapat para arif billah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak ada dalam dirinya ilmu bathin, saya menghawatirkan dia kelak meninggal dalam keadaan su’ul khotimah, adapun bagian kecil dari ilmu bathin adalah membenarkan ilmu tersebut dan menerima orang yang mempelajarinya”.

Pendapat yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Abu Hasan al-Sadzily, beliau mengatakan: “Barangsiapa yang tidak berusaha belajar ilmu bathin dan kemudian mati, maka akan tercatat sebagai mati dengan membawa dosa besar, meskipun dia tidak merasakannya”. Kedua, ilmu bathin adalah sumber kebaikan, keberuntungan,  kemenangan dan sumber cahaya. Selain itu, ilmu bathin juga bisa menghantarkan seorang hamba pada derajat yang tinggi di sisi Allah, SWT.

Mula-mula untuk masuk dan gandrung pada ilmu bathin ada bergaul, berteman dan menghadiri acara-acara yang diselenggarakan para salikin. Dengan menghadirinya, maka akan cinta pada mereka, dengan cinta mereka maka akan rindu bersamanya, rindu bersamanya akan melahirkan rasa ingin melihat wajah-wajah mereka. Orang-orang yang gandrung akan ilmu bathin kemudian melakukan riyadhoh dan mujahadah maka puncak maqomnya adalah menjadi kekasih Allah (waliyullah). Dengan menjadi kekasih Allah, maka hilanglah rasa ketakutan, kekhawatiran dan kegundahan yang menghantui sebagaimana yang dialami orang lain pada umumnya.

Pertanyaannya, apakah setiap orang bisa menjadi waliyullah?. Jawabannya pasti bisa, hanya saja kewaliyan seseorang sangat tergantung pada tingkat kesucian jiwanya. Untuk menjadi wali dengan cara cepat adalah dengan cara mencintai wali, sebagaimana para Abu al-Qosim al-junaidi berkata: التصديقبطريق الولاية ولاية (percaya pada jalan kewalian merupakan wali).

Ada beberapa alasan kenapa bermujalasah, berteman dan sering bergaul dengan para ‘arifin; Pertama agar menjadi bagian dari mereka yang pada akhirnya kelak di hari kiamat akan dimasukkan dalam golongannya, sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW, من أحب قوما حشر معهم (barangsiapa yang cinta pada suatu kaum, maka akan dikumpulkan bersama mereka. Kedua agar mendapatkan “luberan” keberkahan dari mereka dan terpengaruh atas kebaikan yang mereka lakukan. Dalam hal ini Nabi Muhammad bersabda المرء على دين خليله  (seseorang itu tergantung agama temannya).

Hal lain yang bisa dilakukan seseorang  dalam meniti tanggal waliyullah adalah melihat wajah orang-orang sholih. Wajah orang sholih biasanya akan mampu menghantarkan bagi yang melihatnya untuk bertaqorrub kepada Allah. Melihat wajahnya akan membuat hati bergetar karena takjub atas ciptaan Allah. Sebagaimana yang dirasakan para sahabat Nabi Muhammad ketika melihat wajah beliau, bahkan tidak sedikit sahabat-sahabatnya rela tidur di masjid Nabi karena ingin sering melihat wajah beliau yang teduh, penuh kedamaian dan kasih sayang.

Ilmu bathin tidak saja penting buat para salikin tapi bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kebahagian, ketentraman hidup. Bahkan, sekelas Imam Syafi’I, seorang Imam Madhabpun, juga belajar kepada kaum sufi. Beliau mengatakan; “ada dua hal yang aku pelajari dari kaum sufi yaitu; memanfaakan waktu dan menyibukkan diri pada kebaikan”.

Dengan ilmu nahwu insyallah kita bisa belajar dan mengamalkan ilmu bathin yang pada akhirnya kita akan mampu melakukan perjalanan spiritual, salik, dan menyatukan diri pada keesaan Allah SWT.

Related posts

1 comment

Comments are closed.