Catatan Ngaji Nahwu Sufi Eps 6: Seribu Satu Makna dalam Satu Kata

banner 468x60

Pada pengajian kali ini, 29 April 2020, kami menyelesaikan membaca argumen Syaikh al-Kuhin tetang pentingannya ilmu bathin baik bagi ahli bahasa maupun ahli lainnya. Pada penutupan bahasan ini, beliau mengutip beberapa pendapat sufi. Di antaranya adalah al-Junaid yang mengatakan bahwa bagi para pendaki tangga spriritual, fase pertama yang harus dilalui adalah mempercayai dan membenarkan ilmu bathin, jika tidak bisa demikian cukuplah bagi dia untuk tidak membenci orang yang mempercayai ilmu tersebut.

Abu Yazid al-Busthomi juga mengatakan“jika kalian mengetahui ada orang yang mendaki jalan spiritual, maka mendekatlah dan mintalah doa padanya, karena doanya mustajab di sisi Allah SWT. Sedangkan Sayyid Ali Ibn Wafa melalui syairnya menggambarkan profil para salik sebagai berikut:

Read More

“Salik adalah orang yang mencintai Allah, maka dia juga dicintai-Nya.//Hidupnya penuh dengan rasa qona’ah maka dunia takluk pada genggamannya.//Meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan dunia, maka dunialah yang mendekat padanya.//Ridhonya hanya untuk kehidupan akhirat, maka turunlah keridhoan-Nya hingga akhir hayat.//Kunjungilah mereka, niscaya kamu akan menapaki tangga jalan menuju keridhoan-Nya”.

Itulah gambaran salik menurut Sayyid Ali Ibn Wafa, di mana ia sudah mampu meletakkan kehidupan dunia ini pada tempat yang proporsional. Orientasi hidupnya adalah kecintaan dan keridhoan Sang Maha Agung. Sudah tidak memperdulikan lagi tipu muslihat dunia dan sudah jauh dari syahwat duniawi.

Menyingkap Tirai Makna

Sub bab ke-2 pada muqoddimah kitab Munyatul Faqir, sang pengarang menjelaskan argumentasi kedua penulisan kitab ini. Menurut penulis, menyingkap makna dibalik kata dan mencari makna tersembunyi di belakang yang terucapkan adalah kebiasaan dan jalan bagi orang-orang yang memiliki bashiroh, penglihatan mata hati, dan kecerdasan.  Satu kata bisa melahirkan ribuan makna, karena kata hanya bagian dari pengejawantahan atas makna itu sendiri.

Bahasa adalah ekspresi atas makna, rasa, pikiran dan spiritualitas seseorang, maka seyogyanya seorang hamba tidak terjebak hanya pada makna harfiyah, makna simbol dan makna retorik belaka. Seorang hamba, terlebih salik, harus mampu mendulang ribuan makna dalam sebuah kata maupun bahasa. Datangnya berbagai makna kata, bahkan sampai pada jumlah yang tak terhingga bukanlah pekerjaan rasio, kognitif dan eksperimental. Semuanya itu melainkan berasal dari olah rasa, kejernihan jiwa dan kedekatan dengan kekuasaanNya. Artinya seberapa banyak seseorang mampu menangkap makna bahasa sangat ditentukan oleh kedekatannya dengan Sang Khaliq. Sedangkan kedekatan seorang hamba kepada Tuhan ditentukan oleh pemahamanya terhadap Tuhan. Demikian menurut keterangan dari  Sayyid Abdul Karim al-Jilly.

Proses produksi bahasa diawali dari menyimak atau mendengarkan. Maka seyogyanya seorang hamba memperbanyak mendengarkan bisikan-bisikan ruhani yang bersumber dari Allah SWT ataupun dari jalan yang sesuai syariat-Nya. Jika seorang salik memperbanyak mendengarkan bisikan Allah SWT, maka ungkapan-ungkapan yang keluar dari lisannyapun akan mencerminkan bahasa-bahasa langit.

Selain itu, tidak seyogyanya bagi seorang salik memperhatikan makna kata secara harfiyah belaka. Melainkan juga harus menyingkap makna-makna “ruhani” yang ada di setiap kata. Untuk mendapatkan makna ruhani, seorang salik tidak boleh hanya mengandalkan logika belaka. Jika terlalu dominan menggunakan logika dikhawatirkan akan dibimbing oleh nafsu dan keinginan-keinginan duniawi. Maka untuk mendapatkan dan mengungkap banyak makna dalam sebuah kata, seorang salik hendaknya selalu meminta petunjuk kepada Allah SWT. Dengan bertawajjuh kepada Allah SWT, akan didapati makna general sebuah kata yang akan bisa dikonstekstualisasikan dalam berbagai kondisi.

Satu Kata Seribu Makna

Sebagai contoh satu kata bisa mendatangkan banyak makna adalah kata ilmu. Menurut leksikalnya kata tersebut bermakna pengetahuan. Akan tetapi kata ilmu jika dipakai pada kitab-kitab hikmah orang jawa kuno seperti serat-sertat, maaka membacanya menjadi ngelmu yang maknanya tidak saja pengetahuan yang bersifat logika tapi bisa bermakna pengetahuan yang dihasilkan dari sinergi antara akal, hati dan perilaku. Kata ngelmu juga tidak sekadar informasi atau pengetahuan lahiriah-teoritik. Akan tetapi mencakup segala hal yang terkait laku hidup baik dimensi duniawi terlebih dimensi ukhrowi. Orang yang ber-ngelmu, bagi orang jawa, adalah orang menyandarkan setiap perilakunya pada kesadaran metafisik yang orientasinya pada perbaikan dirinya maupun lingkungannya.

Contoh lain adalah kata khumul yang secara mu’jami berarti menganggur, idle. Kata menganggur dalam percakapan bahasa Indonesia diidentikkan dengan tidak memiliki pekerjaan atau profesi, bisa disebabkan karena tidak berpendidikan, tidak berpengalaman atau karena kena PHK. Sedangkan kata khumul jika para salik yang memberikan makna, akan lahir lebih dari satu makna. Misalnya Ibn Athoillah dalam kata hikmahnya mengatakan إدفن وجودك فى أرض الخمول فيما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه  (kuburlah dirimu di dalam bumi khumul, sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tak ditanam maka tak akan sempurna buahnya).

Kata khumul dalam ungkapan tersebut dipasangkan dengan kata ardlu yang memiliki arti tanah dan diawali dengan kata udfun yang berarti kuburlah. Maka jika dikaitkan dengan dua kata tersebut, kata khumul bisa berarti dalam atau sesuatu yang tidak tampak karena tertimbu tanah. Maka kata إدفن وجودك في أرض الخمول  berarti tanamlah dirimu di dalam bumi ketidaknampakan. Hal tersebut juga diperkuat dengan ungkapan setelahnya yang menggunakan kata نبت   yang berati tanam. Tentu suatu benih yang ditanam di tanah tidak menampakkan wujudnya.

Sementara itu Ibnu Ajibah mendefinisikan kata khumul adalah sukuut al-manzilah ‘inda al-nas (sebuah kondisi di mana keberadaannya tidak dianggap oleh orang lain). Itu adalah beberapa contoh kata yang oleh para salik tidak saja dimaknai secara harfiyah yang jauh dari pesan spiritualitas. Akan tetapi mereka mampu menggali makna lebih dalam dari makna leksikalnya. Yang demikian itu hanya bisa digali dengan penyucian jiwa  dan sering mendengarkan bisikan-bisikan ruhani dari Allah.

Menemukan Makna-Makna Bathin

Bagi orang awam kebenaran makna kata terletak pada relevansinya dengan kamus dan kebiasaan orang lain menggunakannya. Akan tetapi bagi orang yang gandrung terhadap ilmu bathin, pemahaman atas makna sebuah kata dilihat dari penggunannya sebagai tangga menuju Tuhan. Kata yang bagus, bahasa yang indah dan ungkapan yang berarti adalah sebuah kata yang jika diucapkan membuat hati pendengarnya menjadi rindu akan kekasihnya yaitu Allah SWT.

Sebuah bahasa tidak disusun untuk megungkapkan argumentasi yang bisa mengalahkan orang lain, membuat orang lain takjub atas puisi, peribahasa dan ungkapan manisnya. Akan tetapi, bagi para sufi bahasa adalah satu tangga dari berabagai tangga menuju Allah SWT. Maka seyogyanya bagi para salik untuk tidak hanya mempertimbangakan keindahan bahasanya dan mengalahkan keindahan bahasa orang lain. Akan tetapi orientasi para salik dalam menyingkap makna (bathin) di balik makna (lahir) adalah jalan untuk medapatkan kunci futuh dan wushul kepada Allah SWT.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an الذين استمعون  القول فيتبعون أحسنه، أولئك الدين هدهم الله، وأولئك هم أولوا البان  (yaitu, mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itula orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat). Jika mencermati ayat tersebut maka akan bisa diambil kesimpulan bahwa ciri orang yang terbuka hati dan pikirannya (futuh)  serta mendapatkan petunjuk dari Allah SWT adalah orang-orang yang selalu mendengarkan “bisikan-bisikan” Tuhan kemudian mengikuti bisikan tersebut. Sedang tidak akan pernah seseorang mendapatkan “bisikan” Tuhan jika hati dan nafsunya hanya meperturutkan syahwat duniawi dan lupa akan bertaqorrub kepada Allah SWT.

Kauman, 2 Mei 2020

Related posts