Ngaji episode ke-11, kami membaca sebuah hikayat tentang perjalanan suci seorang wanita Habasyah (Ethiopia), di mana ia mencari dan akhirnya berjumpa dengan kekasihnya. Dalam sebuah hikayat, sebagaimana digambarkan oleh Syaikh al-Syibli. Diceritakan bahwa konon ada seorang wanita dari Habasyah sedang berjalan lunglai, wajahnya pucat dan tampak tak berdaya, namun demikian dia berusaha berjalan cepat seperti hendak mengejar sesuatu.
Melihat keadaan tersebut, muncullah tanda tanya di benak Syaikh al-Syibli, apa gerangan yang menimpa wanita tersebut. Untuk mengobati rasa penasarannya itu, Sang Syaikh bertanya padanya.
Sang Syaikh : Wahai hamba Allah, perlambatlah jalanmu!, kasihanilah dirimu yang sempoyongan itu!.
Wanita : Dia, Dia, Dia!, (seolah wanita itu ingin berlari mengejar seseorang).
Sang Syaikh : Dari mana asalmu?. Tanya sang Syaikh
Wanita : Dari Dia.
Sang Syaikh : Dan hendak kemana kamu?.
Wanita : Aku ingin meenuju Dia. Jawab sang wanita Habasyah itu.
Sang Syaikh : Apa yang kamu cari?. Lanjut tanya yang Syaikh.
Wanita : Aku menginginkan Dia.
Sang Syaikh : Siapa namamu?. Seraya sang Syaikh penasaran.
Wanita : Dia.
Sang Syaikh : Seberapa sering kamu mengingatnya?.
Wanita : Dia!. Lebih lanjut wanita tersebut berkata: Bibirku tidak pernah tersenyum untuk memuji-Nya hingga aku berjumpa pada-Nya. Sambil ia mendendangkan sebuah syair; “Cintaku padamu dan pada harta sudah hilang dan tak pernah akan tergantikan // Bagiku sudah tidak ada lagi kepentingan kepadamu // Kusampaikan kepadamu bahwa mereka mengira saya ini sakit // Aku jawab; iya, sakit ini akan selalu menyelimutiku”.
Mendengar dendangan syair perempuan itu, Sang Syaikh lanjut bertanya padanya; “Wahai hamba Allah, apakah yang kamu maksud dengan jawaban selalu “Dia” itu maksudnya Allah??.
Ketika mendengar kata “Allah” yang dilafalkan Sang Syaikh, seketika saja wanita itu berteriak dengan sekencang-kencangnya dan akhirnya meninggal. Pasca kematian wanita itu, Sang Syaikh hendak mempersiapkan jenazahnya untuk dimandikan, dikafani, disholati dan dimakamkan. Tiba-tiba Sang Syaikh mendengar suara tanpa wujud:
“Ya Syibli, barangsiapa yang gandrung cinta pada-Ku, bingung mencari keberadaan-Ku, sedih tatkala mengingat-Ku dan mati dengan menyebut asma-Ku, maka tinggalkan dia bersama- Ku, jenazahnya adalah urusan-Ku.
Mendengar ucapan tersebut Sang Syaikh kemudian menoleh ke arah munculnya suara itu. Seketika matanya terpejam seolah ada penghalang yang membuat kesulitan untuk membukanya. Setelah berusaha sekuat tenaga membuka mata akhirnya ia bisa melihat seperti sedia kala. Dan aneh bin ajaib jenazah wanita itu sudah tidak ada lagi di depan Sang Syaikh. Ia tidak tahu apakah jenazah itu diangkat?, dikubur? atau kemana?.
Tujuan akhir sebuah pengembaraan seorang salik adalah berjumpa dengan kekasihnya. Seluruh Riyadhoh dan mantra-mantra yang selalu menghiasi bibirnya serta hati yang selalu terhubung dengan-Nya adalah wasilah agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Sungguh kemalangan menimpa hamba yang sowannya tidak diterima, kehadirannya tidak dikehendaki, namanya tidak tercatat dalam kitab-Nya.
Sebaliknya, keberuntungan adalah milik hamba yang Dia selalu rindu akan suara merdunya untuk senantiasa memuji-muji-Nya. Jasadnya Dia-lah yang merawat. Hidupnya sudah ada dalam genggaman-Nya, sebagaimana kebahagiaan yang diperoleh wanita Habasyah tersebut.
Kauman, 10 Juni 2020