Kitab Munyatu al-Faqir adalah kitab yang berdiri di atas dua kitab sebelumnya, yaitu matan al-Jurumiyyah karya Imam al-Shonhaji dan kitab syarh matan al-Jurumiyyah fi al-Tasawwuf karya Ibnu Ajibah. Pertemuan kedua saya memulai dengan menceritakan asal-usul dari nama al-Jurumiyyah pada kitab yang di karang oleh Imam al-Shonhaji. Sebagaimana tradisi ulama-ulama klasik, pemberian nama sebuah kitab biasanya dilatarbelakangi oleh peristiwa spiritual yang “melanda” si empunya.
Selain itu, ada juga yang nama kitabnya berupa untaian do’a, seperti fathu al-Qorib karya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibn Qosim al-Ghozzi (859 H), fathu al-Muin karya Zainuddin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abdil Aziz al-Malibari, atau lebih dikenal dengan panggilan Zainuddin al-Malibari, I’anatu al-Tholibin karya Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho al-Dimyathi al-Syafi’i.
Judul buku yang disematkan para pengarangnya jauh dari orientasi komersial, bisnis dan tentu juga tidak mempediksi akan best seller. Alih-alih mengkomersilkan karyanya, bahkan tidak sedikit para ulama menyembunyikan karya-karyanya hingga memberi judul kitabnyapun tidak merepresentasikan isinya. Tidak seperti sekarang, seorang penulis kita membuat buku salah satu pertimbangannya adalah bagaimana agara bukunya tersebut laris, best seller, bahkan yang aneh bin ajaib buku yang baru turun cetakpun sudah tertulis dalam sampulnya best seller (?!).
Asal Usul Nama al-Jurumiyyah
Terkait nama al-Jurumiyyah terdapat dua riwayat atau versi. Riwayat pertama mengatakan bahwa nama al-Jurumiyyah diambil dari kata al-Jurumi yang merupakan nama klan atau suku. Nampaknya riwayat ini lemah, mengingat jika kata al-Jurumiyyah itu dari al-Jurumi kenapa kata tersebut tidak dijadikan nama belakang sang pengarangnya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama klasik? Sebut saja misalnya Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn al-Mughiroh Ibn Bardizbah yang terkenal dengan sebutan Imam Bukhori karena lahir di Bukhoro, sekarang terletak di negara Uzbekistan.
Riwayat kedua menyebutkan, setelah Imam al-shonhaji selesai menulis tata bahasa Arab secara ringkas namun lengkap, beliau mengalami syak, keraguan, dan sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah tulisannya tersebut bermanfaat dan barokah atau tidak?apakah ilmu yang ada dalam goresan tinta tersebut dapat mengantarkan orang lain paham akan ilmu Allah atau tidak?. Pun apakah karyanya tersebut lahir atas nafsu dan pikiran semata serta jauh dari bimbingan Allah?.
Karena gelisah atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian Imam al-Shonhaji memutuskan untuk membuang tulisan-tulisan yang memuat teori nahwu itu ke laut. Baginya jika tulisan itu bermanfaat, maka suatu saat nanti pasti akan mendapatinya lagi, akan tetapi jika tulisannya itu hilang berarti isyarat bahwa karyanya tersebut jauh dari nilai keberkahan. Sesaat setelah tiba di tepi laut kemudian beliau melemparkan kertas-kertasnya sambil berkata جر المياه (hanyutlah bersama air). Tak selang beberapa lama, Imam al-Shonhaji mendapati karya-karyanya tersebut hanya muter-muter berada di dekat sang Imam dan tidak hanyut, bahkan tinta yang dipakai untuk menulis tidak sedikitpun luntur. Melihat kejadian aneh itu, sang Imam mengambilnya kembali dan berkata pada dirinya bahwa tulisanku ini insyaallah berkah dan dari ungkapannya tersebut dijadikanlah nama sebuah kitab yaitu Jurumiyyah dari kata jur al-Miyah.
Itulah karomah (kemulian) dari kitab al-Jurumiyyah, hingga sekarang karomahnya masih sangat terasa buktinya kitab tersebut masih menjadi rujukan utama bagi para pengkaji ilmu nahwu, menjadi bahan penelitian banyak orang bahkan tidak saja orang muslim tapi juga tidak sedikit yang mengkajinya adalah orang-orang non-muslim. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa al-Jurumiyyah adalah kitab lintas generasi, lintas madzhab, lintas teritorial dan lintas agama. Semoga kita yang ngaji kitab tersebut mendapatkan limpahan atas karomahnya.
Mendahulukan Shalawat baru Hamdalah
Setelah pada pertemuan sebelumnya redaktur kitab, Badruddin Manshur, menjelaskan secara ringkas biografi Imam al-Shonhaji, Abu Ajibah dan al-Kuhin, berikutnya beliau memberikan kata pengantar. Di awal kata pengantar beliau mendahulukan mengucapkan sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat baru memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT.
Timbul pertanyaan, mengapa membaca sholawat terlebih dahulu dan mengakhirkan mengucapkan syukur? Apakah ini sebuah kelaziman?, wallau a’lam. Tapi yang jelas, layaknya salik yang memiliki prinsip wushul kepada Allah itu karena berdekatan dengan seorang guru, maka bisa dimaklumi bahwa sholawat kepada Nabi Muhammad adalah tangga atau tahapan dan pintu masuk untuk memuji Allah. Dengan bahasa lain, tidak akan pernah bisa memuji Allah tanpa memuji kekasihNYA terlebih dahulu.
Setelah membaca sholawat Nabi Muhammad SAW, Badruddin Manshur, memanjatkan pujiannya pada sang pencipta alam, pengatur jagat raya. Allah-lah menganugerahkan ilmu dan rahasia-rahasiaNya kepada hati orang-orang terpilih, menghiasi lisan hambanya dengan ungkapan-ungkapan yang lembut dan benar. Pada prinsipnya Badruddin Manshur ingin mengatakan bahwa bagi orang-orang pilihan apapun yang keluar dari lisannya, ekpresi dalam segala aktivitasnya dan apa yang dia rasakan adalah pancaran nur ilahi, atas bimbingan Allah dan atas kendali sang Maha Benar. Manusia terpilih hanya berjalan, bertutur, bertindak dan berekspresi atas kehendak dan kuasa-Nys. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW; Jika seorang hamba senantiasa mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah-ibadah tambahan maka Allah akan menjadikan dia kekasih-Nya. Dan jika seseorang sudah menjadi kekasih Allah, maka pendengarannya, penglihatannya sama dengan yang Allah dengan dan lihat.
Allah juga akan menceburkan kekasih-Nya dalam lautan kebenaran, hakikat, memperlihatkan keagungan dan keindahan-Nya yang pada gilirannya seorang hamba terpilih tadi mampu mengeluarkan mutiara dan intan yang ada dalam lautan kebenaran tersebut. Bagi seorang árif billah setiap eksistensi yang ada dalam alam raya dan perubahan zaman adalah tanda atas keagungan-Nya dan mereka mampu menjadikannya sebagai pelajaran, pengetahuan dan sumber energi ilahi.
Begitu juga dengan bacaan shalawat atas Nabi Muhammad SAW adalah energi dan dasar atas penciptaan alam semesta. Sebagaimana diungkapkan Imam al-Bajuri, محمد هو عين الوجود, Nabi Muhammad adalah sumber inspirasi kehidupan. Dunia ini diciptakan, matahari menyinari bumi, bulan dan bintang menghiasi langit, hijaunya pepohonan dan daun-daun ada karena adanya Nabi Muhammad. Dari beliau tersingkap rahasia alam semesta, berkah beliau hadir dimuka bumi banyak orang dapat meraih derajat wushul.
Qowaid Nahwi vis a vis Qowaid Sufi
Badruddin Manshur, tatkala mendapatkan kitab syarah Jurumiyyah karya Ibnu Ajibah merasa tercengang, kagum, dan menganggap unik. Mengingat syarah tersebut diluar kebiasaan, yaitu menjelaskan kitab tata bahasa Arab dengan menggunakan pendekakatan tasawuf.
Ibnu Ajibah telah mampu memadukan dengan apik antara syarah qowaid dan syarah sufistik. Tata bahasa Arab bertujuan agar orang mampu menyusun kata dan kalimat sehingga menjadi indah bahasanya, sedangkan tasawuf bertujuan agar manusia mampu merangkai akhlaknya menjadi indah perangainya. Dan Ibnu Ajibah mampu menjelaskan makna simbolik yang ada pada tata bahasa sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Matan al-Jurumiyyah. وكل إناء يترشخ بما فيه، وكل ما حواه قلب الإنسان لابد ان يظهر على فيه (setiap tempat mencerminkan apa yang ada di dalamnya, dan setiap apa yang dirasakan hati manusia juga tercermin dalam perilakunya).
rugi saya kalau melewatkan “kuliah” ngalap ilmu pada pak muhajir… trimakasih ilmunya, sahabatku