Nahwu dalam khazanah pengetahuan Islam itu seperti kuda-kuda dalam dunia persilatan. Bila kuda-kudanya tidak kuat bahkan tidak bagus maka sulit seorang pendekar untuk mampu bertanding. Begitu juga ketika Nahwu itu dipakai dalam pertarungan dunia keilmuan Islam. Maksud pertarungan di sini adalah pertarungan dalam menemukan makna atau maksud ketika menghadapi teks-teks khazanah literatur Islam yang kebanyakan memakai bahasa Arab. Atau bahkan Ketika seorang intelektual muslim hendak menuliskan pengetahuan atau pemikirannya dengan menggunakan bahasa Arab.
Dalam buku Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam yang ditulis oleh Seyyed Hosein Nasr, Ibnu Sina konon pernah dibully gara-gara nahwu atau gaya bahasa penulisan buku-bukunya yang berbahasa Arab dikesankan rumit dan tidak jelas. Ketidakjelasan ini bisa jadi mulai dari penyusunan struktur kalimat – paragraf itu sendiri sampai dengan stilistikanya. Hal ini karena Ibnu Sina sendiri sebenarnya bukan dari kalangan Arab asli namun dari Arab “swasta” alias Persia.
Namun bully-an atau kritikan dari para ahli sastra itu tidak lantas menyurutkan langkah Ibnu Sina untuk berkarya. Sadar akan kekurangannya, cendekiawan sekaligus dokter masyhur ini langsung belajar lebih dalam lagi perihal Nahwu dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kebahasa-araban di kota ilmu Isfahan. Gaya penulisan bahasa Arabnya mulai diperhalus dan disempurnakan sehingga lebih mudah untuk dipahami. Salah satu karyanya yang menunjukkan proses transformasi tersebut adalah kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat.
Saya kira semangat Ibnu Sina dalam mempelajari nahwu atau gramatika Arab ini perlu untuk diteladani. Dalam tahap apapun atau sampai tahap manapun kita belajar Nahwu jangan pernah berhenti dan mudah menyerah.
Dalam hierarki yang sederhana, mayoritas pembelajar bahasa Arab biasanya bertemu dengan kitab Jurumiyyah di fase pertama. Kerap para santri diminta untuk menghafal paragraf demi paragraf kitab yang ditulis oleh Imam al-Shanhaji itu. Dilanjutkan dengan kitab ‘Imrithy dan Alfiyyah yang keduanya menggunakan sistematika syair yang terdiri dari beberapa bait. Kitab ‘Imrithy yang ditulis oleh Imam Syarafuddin al-‘Imrithy ini berjumlah 204 bait, sedangkan kitab alfiyyah yang ditulis oleh Imam Ibnu Malik itu berjumlah 1002 bait. Terlihat rumit dan tidak mudah memang, tapi bagi orang-orang yang tekun dan ikhlas dalam menimba pengetahuan selalu terlihat cahaya kemudahan di tengah pepatnya kesulitan.
Pernah dengar ada tokoh agama di Tanah Air ini yang sempat viral karena tashrif-annya yang keliru?. Kita atau minimal saya sendiri perlu mengapresiasi karena kekeliruan itu menuntun banyak orang untuk memunculkan petikan-petikan pengetahuan tentang bahasa Arab. Tapi menyamakan sang begawan tersebut dengan Ibnu Sina saya kira tidak ke arah sana tujuan artikel ringkas ini ditulis.