Di sore akhir pekan kemarin, tepatnya di hari Ahad, 10 Januari 2021, saya sebenarnya sedang janjian untuk bertemu kolega, tapi belum ada kabar lebih lanjut. Sekiranya sebakda shalat ashar, tanpa sengaja saya kembali melihat sampul buku –ukurannya minimalis– yang berjudul “Demokrasi Kita” dengan gambar lelaki berkacamata. Lelaki tersebut kelak disebut sebagai Sang Proklamator Kemerdekaan; Mohammad Hatta yang lebih akrab disapa Bung Hatta.
Buku tersebut saya dapatkan dari kawan sejawat yang tinggal di Jogja 2019 silam. Buku ini bekas, dengan jenis kertas yang khas. Dalam keterangan buku itu, dahulu dihargai Rp. 5,- untuk jenis kertas HVS dan Rp. 3,- dengan jenis kertas koran.
Buku yang saya temukan tersebut dicetak ulang 1 Juni 1966 oleh Pustaka Antara. Asalnya buku ini diterbitkan pertama kali pada medio Mei 1960 dan dimuat dalam Majalah Pandji Masjarakat garapan Buya Hamka. Tidak ketinggalan, dalam buku yang berjumlah 35 halaman tersebut, Hamka membubuhkan tulisannya dalam Kata Pengantar. Yang oleh Hamka, buku tersebut mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik didalam ataupun diluar negeri.
Hamka juga menceritakan, bahwa apa yang dibayangkan Bung Hatta dalam buku tersebut, bahwa demokrasi sejak waktu itu mulai terancam di negeri kita, telah berlaku keatas majalah yang memuat tulisan itu; Pandji Masjarakat dilarang terbit, bahkan membaca, menyiarkan hingga menyimpan buku itu diancam hukuman.
Seiring dengan berjalannya waktu, keadaan mulai berubah sejak angkatan 1966 menuntut keadilan dan menentang kezaliman.
Syahdan, sekurang-kurangnya dalam buku itu, Hatta memuat apa yang tengah terjadi pada sistem demokrasi di Indonesia. Utamanya saat Republik ini dinakhodai oleh rekannya; Sukarno.
Lelaki yang memiliki nama lahir Mohammad Athar itu mengritik sistem demokrasi terpimpin ala Sukarno. Bahkan, tak segan, dalam bukunya itu, Hatta menyebut demokrasi terpimpin Sukarno menjadi suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan yang tertentu.
“Apa yang terjadi sekarang,” kata Hatta, “ialah krisis daripada demokrasi. Atau demokrasi didalam kritis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator“.
Dalam buku itu seolah kita merasakan kekecewaan Bung Hatta terhadap tindakan Sukarno –hanya tindakannya, tidak dengan personalnya sebagai kawan–. Sekali lagi dengan tegas Hatta menukil bahwa, “ini adalah hukum besi daripada sejarah dunia !”
Kemudian katanya, “tindakan Sukarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat daripada krisis demokrasi itu“. Sampai-sampai dalam buku itu, Hatta menulis sub-judul “Konsepsi Sukarno”. Yang tidak lain adalah seperti pada sub-judul yang sebelum-sebelumnya, sebuah analisa kritis Bung Hatta untuk konsep-konsep demokrasi cetusan Sukarno.
“Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya kira-kira tiga tahun yang lalu saya bandingkan dia (Sukarno) dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata bahwa dia adalah ..ein Teil jener Krafte, die stets das Bose will und stets das Gute schaft –satu bagian dari suatu tenaga yang selalu meghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik“.
“Sukarno,” lanjutnya, “adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuan itu“.
Bisa diketahui, selain itu Hatta juga mengulas sedikit berkaitan dengan Revolusi Perancis 1789 yang dinilainya hanya membawa persamaan dalam sektor politik dan terjadi secara berangsur-angsur.
Tiga semboyan; kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan tidak terlaksana secara empiris dalam praktik. Sebab, kata Hatta, Revolusi Perancis meledak sebagai revolusi individual untuk kemerdekaan orang perorang dari jeratan feodalisme. Dan demokrasi semacam itu tidak sejalan dengan cita-cita perjuangan Indonesia; peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Jika hanya demokrasi politik, tidak akan bisa melancarkan persamaan dan persaudaraan.
Hatta, yang juga pernah duduk di bangku Handels Hogeschool yang seiring berubah nama menjadi Universitas Erasmus Rotterdam ini menghendaki cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkup yang menentukan nasib manusia.
Setidaknya, menurut Hatta ada tiga sumber yang mampu menghidupkan cita-cita demokrasi sosial dalam nurani pemimpin-pemimpin Indonesia. Pertama, paham sosialis Barat, karena dasar-dasar peri-kemanusiaan yang dibela dan menjadi tujuannya.
Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antar manusia sebagai makhluk Tuhan dan itu sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan ketiga adalah pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasar pada kolektivisme.
Meski karyanya ini tidak setebal “Dibawah Bendera Revolusi”, masterpiece Sukarno, setidaknya buku ini bisa menjadi refleksi dan mengkaji secara kritis betapa dwi-tunggal Republik Indonesia adalah dua insan yang teguh pendirian, baik dalam ideologi, berbangsa dan bernegara, meski berbeda dalam sudut pandang dan cara. Dan, Bung Hatta terlihat betul sangat mencemaskan alih-alih keadilan yang include dari Demokrasi Kita ini menghilang atau samar-samar.
Kembali lagi, disamping buku ini, pasca kurang lebih empat tahun setelah tulisan-tulisan Hatta yang diterbitkan Pandji Masjarakat –sebelum dikodifikasi–, pimpinan majalah tersebut kemudian terperih dalam jeruji besi. Bukan hanya itu, Pandji Masjarakat juga ikut diberedel.