Pada ruang lingkup kajian taswir yang merupakan cabang dari seni merupakan salah satu topik yang banyak menimbulkan pemahaman yang berseberangan. Pemahaman taswir ini sering terjadi perbedaan dan silang pendapat pada kalangan umat muslim. Kesan tersebut muncul karena tidak terdapat ayat Al-Qur’an yang menguraikan secara rinci terkait kebolehan dan kedudukan taswir, dilain sisi banyak hadis yang menjelaskan dampak negatif dari kegiatan taswir. Problematika seputar gambar atau lukisan tentu saja akan menjadi sebuah pemahaman yang rigit jika tidak dibarengi dengan pemahaman dari sisi hadis dan fikih.
Diskursus tentang taswir ini penting untuk ditelaah lebih jauh sebagai bentuk upaya untuk mengetahui kontekstualisasi pemahaman hadis tersebut. Dengan demkikian dapat memberikan perspektif yang baru disamping persepsi yang lama sudah terbangun. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa dimensi yang selama ini luput dalam memahami hadis, khususnya hadis tentang taswir. Hadis yang menerangkan tentang gambar diantaranya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalah kitab Shahih al-Bukhari yaitu:
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ مُسْلِمٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ مَسْرُوقٍ، فِي دَارِ يَسَارِ بْنِ نُمَيْرٍ، فَرَأَى فِي صُفَّتِهِ تَمَاثِيلَ، فَقَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ»
Al-Humaidi telah memberitahukan kepada kami, ia (al-Humaidi) berkata, Sufyan telah memberitahukan kepada kami, ia (Sufyan) berkata, A’masy telah memberitahukan kepada kami dari Muslim, ia berkata: kami bersama Masruq di rumah Yasar bin Numair melihat patung-patung di serambinya. Dia berkata, aku mendengar Abdullah berkata: Aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar”.(H.R. Bukhari).
Sebagian orang yang memaknai hadis ini secara tekstual menganggap bahwa kegiatan yang berhubungan dengan seni rupa seperti melukis, memahat, merupakan suatu hal yang diharamkan. Sementara Muhammad Abduh lebih tegas mengatakan bahwa orang-orang yang mengemukakan bahwa menggambar dilarang secara mutlak sangat jumud dalam memahami hadis. Mereka telah tertinggal dengan menganggap bahwa maksud hadis adalah semua gambar, padahal sasaran sebenarnya hanya pada kasus tertentu. Jika tujuannya bukan untuk sesembahan melainkan sekedar menikmati keindahannya maka tidak dilarang.
Jika dipandang melalui perspektif hukum, hadis taswir tersebut memiliki illat hukum berdasarkan pendapat ulama. Sebabaimana dikemukakakn oleh Syuhudi Ismail bahwa larangan melukis yang diriwayatkan oleh Nabi SAW memiliki illat hukum. Menurutnya, masyarakat saat itu belum terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah yaitu menyembah kepada patung dan sejenisnya. Sehingga larangan taswir ditujukan agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan dengan cara mengeluarkan larangan taswir melalui sabdanya. Jikalau illat nya demikian, maka bila suatu saat umat Islam tidak lagi terjerumus dalam kemusyrikan, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan.
Berdasarkan keterangan-keterangan sebelumnya, apabila hadis-hadis tentang taswir (gambar, ukiran, dan lukisan) dikaitkan dalam konteks kehidupan masa kini, kemudian dijadikan alasan untuk menolak atau membenci gambar atau lukisan secara mutlak tanpa melihat tujuan dan alasannya, maka hal tersebut kurang tepat karena gambar merupakan keindahan dan kesenian yang saat ini telah menjadi bagian terpenting bagi masyarakat. Sehingga larangan tersebut dapat dipahami bersifat kondisional dan temporal. Hal tersebut merujuk pada kaidah Ushul Fiqh yang menyatakan “al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman”, artinya “hukum itu berkisar (tergantung) pada ada atau tidak adanya suatu illat”. Dengan demikian jika illat itu berubah, maka hukum pun juga berubah dan disinilah letak fleksibilitas hukum Islam.
Sehingga menghadapi fenomena saat ini hadis tersebut tidak dianggap sejalan dengan realitas. Hadis tersebut harusnya menjadi jawaban atas berbagai permasalahan umat sebagai bentuk perkembangan peradaban. Salah satu motif manusia saat ini membuat gambar adalah karena alasan keindahan. Keindahan ini tercipta dari banyak media, salah satunya media seni, misalnya berupa lukisan, fotografi, patung kaligrafi dan lain-lain. Namun dalam beberapa hadis yang telah disabdakan terkait gambar atau tashawwur dilarang dalam Islam. Secara antropologis, hadis tersebut dilarang kerana kondisi masyarakat saat itu berada dalam situasi transisi dari kepercayaan animisme dan pokiteisme ke kepercayaan monoteisme. Oleh kerena itu, pelarangan taswir ini sangat relevan. Pelarangan ini juga karena hadis-hadis tersebut melihat kebiasaan masyarakat dulu yang masih rentan terhadap kemusyrikan, yaitu menyembah gambar atau patung-patung berhala yang mereka buat. Namun, melihat kondisi masyarakat sekarang dengan perkembangan peradabannya, maka kegiatan tashawwur merupakan bagian dari kreativitas seseorang yang dianggap lumrah.