Ibnu Ajurrumi adalah salah satu Begawan ilmu nahwu yang salah satu karyanya saat ini banyak dikaji, termasuk di Indonesia. Magnum opusnya dalam ilmu Nahwu yang paling fenomenal adalah kitab al-Muqaddimah al-Ajurrumiyyah fi al-Nahwi atau yang lebih akrab disebut Jurumiyyah. Sebuah kitab Nahwu yang sejatinya dari volume dan halaman tidak sampai beribu-ribu bahkan berjilid-jilid. Namun kitab ini memiliki kadar values yang sangat tinggi di kalangan para pengkaji gramatika bahasa Arab.
Nama lengkap Ibnu Ajurrumi sebagaimana yang diketengahkan oleh Syaikh Abdul Qodir al-Kuhin dalam kitabnya Munyatu-l-Faqir al-Mutajarrid wa Siratu-l-Murid al-Mutafarrid dengan tahqiq-an dari Badr al-Din Manshur adalah Muhammad bin Muhammad bin Daud al-Shanhaji. Dilahirkan di kota Fas (Maroko) pada tahun 672 H/1273M dan dikebumikan pula pada saat akhir hayatnya di kota yang sama di tahun 823 H-1323 M.
Dari al-Muwahhidun ke Bani Marrin
Tahun di mana Ibnu Ajurrumi lahir adalah masa keruntuhan Dinasti al-Muwahhidun (1133-1269 M) dan munculnya pemberontakan dari Bani Marrin (1244-1344 M). Dari sekelompok suku yang mendiami wilayah Maghrib berubah mendeklarasikan diri menjadi komunitas politik dan banyak terlibat persengketaan dengan para pemerintah al-Muwahhidun. Pada tahun 1244 M Bani Marrin berhasil menduduki kota Fas.
Chase F. Robinson mengatakan bahwa Bani Marrin melakukan beberapa pertempuran dengan dinasti-dinasti kecil yang muncul di wilayah Maghrib saat itu untuk memenuhi agenda ekspansi wilayah mereka. Salah satu dinasti yang mereka perangi adalah Dinasti Hafsh yang berkuasa di Tunisia. Akbar Shah Khan Najibabadi mengatakan bahwa Bani Marrin mengambil alih kepemimpinan di Maroko saat pengaruh dan kuasa al-Muwahhidun dari Andalusia mulai terasa melemah.
Elit dinasti Islam di Spanyol tidak sepenuhnya yakin akan kekuatan orang-orang Maroko dan bangsa Berber dalam menegakkan pemerintahan. Justru muncul kekhawatiran bila mereka (orang-orang Maroko dan bangsa Berber) tidak mampu lalu diserbu oleh pasukan Kristen dan akhirnya mereka menjadi budak dan tawanan. Perhitungan ini akhirnya kembali menjadi legitimasi elit dinasti Islam Spanyol untuk kembali menghelat peperangan dengan para “pemberontak” di Maghrib. Perang demi perang tidak terhindarkan lagi dalam periode ini, dan pada suasana politik seperti inilah Ibnu Ajurrum lahir di Fas.
Namun pada wajah yang lain selain dari sektor politik dan pertahanan, Bani Marrin pada hari-hari muda Ibnu Ajurrumi telah berhasil menanam dan mengembangkan peradaban pengetahuan di Fas. Pada tahun 1276 M Banu Marrin membangun Fas jadid sebagai pusat administrasi dan kekuatan militer. Sedang Fas lama tetap tumbuh berkembang dengan segala aktifitas intelektualismenya di sana.
Keagungan Fas dan Figur seorang Ayah
Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan mengatakan bahwa Fas adalah kota yang sangat terkenal dan agung di daratan Maghrib. Kota ini telah menjadi surga intelektual keempat setelah Bashrah, Kufah dan Fustat. Beruntung meskipun banyak penguasa yang datang silih berganti di kota ini, mereka tidak menghancurkan keagungan kota Fas dengan segala solekan pengetahuannya. Hal yang berbeda dialami oleh kota-kota seperti Marw, Herat, Timbuktu yang tenggelam karena kebuasan politik dan penjarahan kekuasaan.
Dalam literatur yang lain disebutkan bahwa Ibnu Ajurrumi menimba pengetahuan dasar tentang Nahwu dan pelbagai ilmu lainnya di kota Fas. Dinasti Marrin banyak membangun benteng di kota ini sehingga dari tampilan fisik sangat begitu eksotis dan memesona, bahkan suasana itu masih bisa dilihat sampai hari ini. Pada abad pertengahan kota Fas sempat menjadi tempat berlindung orang-orang Muslim dan Yahudi Andalusia yang mendapat pengusiran dari wilayah mereka. Kemegahan Fas semakin bersinar saat para imigran Cordoba dan Qairawan datang dan membangun berbagai madrasah dan masjid-masjid besar. Ibnu Ajurrumi dan keluarganya menjadi saksi atas sejarah kemegahan kota ini pada tahun-tahun itu.
Keluarga Ibnu Ajurrumi adalah keluarga intelektual organik yang lahir di tengah-tengah kehidupan masyarakat umum. Ayahnya Muhammad bin Daud adalah figur religius yang menjadi ulama kampung di tempat Ibnu Ajurrum menghabiskan masa kecilnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Muhammad bin Daud tidak menggantungkan diri dari ceramah-ceramah dan ketokohannya sebagai ulama kampung. Namun ayah dari ulama besar Nahwu ini memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan berdagang dan menjilid buku-buku. Dari sini dapat dilihat bahwa sensasi religiusitas dan perangkat intelektualisme telah menjadi literasi hidup lingkungan sekitar Ibnu Ajurrumi yang akan sangat berdampak signifikan dalam hidupnya di masa mendatang.