IBNU ARABI: Ikatan nahwu, tafsir dan kesufian
Oleh: Cecep Jaenudin*
Gelinjang pengkajian bahasa Arab di Indonesia sampai saat ini masih terlalu mapan berkutat dengan alam linguistiknya semata (langage as language). Padahal adagium yang senantiasa mencuat di awal langkah mempelajari bahasa Arab (muslim) adalah untuk memahami al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam khazanah tafsir al-Qur’an saat ini telah banyak perubahan yang bergerak secara lincah dan dinamis dari zaman ke zaman.
Salah satu corak penafsiran yang berkembang sampai detik ini dalam pasaraya tafsir al-Qur’an adalah penfsiran model sufistik atau yang lebih dikenal dengan model tafsir Isyari. Kaitannya dengan linuistik Arab, tafsir model ini kerap memberikan makna-makna lain dalam struktur gramatikal yang ada. Pemikiran sang penafsir jauh bergerak ke dalam secara radikal memberikan pemaknaan terhadap simbol-simbol gramatikal linguistik ayat. Hal ini membuat bahasa Arab sebagai bahasa (language) masuk ke dalam pusaran rupa lahir dan rupa batinnya (syimbol’s world).
Salah satu ulama yang memiliki aras pemikiran yang sama tersebut adalah Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Ia adalah sufi kelahiran Anadalusia yang memiliki buah karya masyhur yang berjudul al-Futuhat al-Makkiyyah. Kitab yang terdiri dari beberapa jilid ini memang bukanlah kitab tafsir al-Qur’an secara utuh. Akan tetapi di dalamnya memuat keterangan tentang kedudukan Nahwu dari ayat-ayat al-Qur’an yang didekati dengan perspektif tasawuf. Hasilnya jelas memunculkan perbedaan dengan makna lahiriah yang selama ini tersaji di lapangan kajian bahasa pada umumnya.
Salah satu contoh ayat yang ditafsir oleh sufi Wahdat al-Wujud ini dalam kitab tersebut adalah lafazh Basmallah atau ayat pertama dari surat al-Fatihah. Ibnu ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah mengatakan bahwa al-Fatihah adalah gerbang pertama yang harus dipelajari saat kita hendak mengkaji kosmologi alam semesta. Sedangkan lafazh Basmallah adalah bagian dari ayat-ayat surat tersebut. Ibnu Arabi mengatakan bahwa Tuhan telah menjadikan alam semesta sebagai mushaf terbesar dan di dalamnya tergores huruf-huruf kehidupan yang tersimbolkan dalam narasi pengejaan nalar.
Dari sini muncul urgensi pengetahuan bahwa nahwu bukan hanya sekadar tentang gramatikal bahasa, lebih jauh dari itu mampu menjangkau alam sufisme yang berkaitan dengan dimensi karakter dan moral manusia.
*)Pimpinan Redaksi