Kerap kali kita mendengar dua istilah yang sering disandingkan dan saling bersinergi dalam proses kehidupan. Yakni, terminologi pendidikan dan peradaban. Dalam setiap masa atau kejayaan suatu bangsa tidak terlepas dari suatu peradaban yang fenomenal. Ada peradaban Mesir kuno, peradaban Yunani, peradaban Babilonia, peradaban Islam, dan peradaban yang lain. Di antara deretan peradaban tersebut yang membawa kecerahan kehidupan dalam dimensi keilmuan dan pendidikan adalah peradaban Islam. Sudah masyhur kiranya dari peradaban ini terlahir para tokoh atau ilmuan-ilmuan Islam yang kompeten dalam bidangnya.
Memaknai terminologi pendidikan dalam skala umum agaknya sangat kompleks dan mencakup segala unsur kehidupan. Merujuk kamus bahasa Indonesia, pendidikan bermakna proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Adapun terminologi peradaban menurut kamus bahasa Indonesia adalah kemajuan lahir batin, hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Jadi jika dua terminologi ini kita kompilasikan maka memiliki definisi sebuah proses perubahan dalam segala aspek kehidupan seseorang atau kelompok dengan kesadaran penuh meliputi jiwa, raga, mental, perilaku, dan bahasa guna sebuah kemajuan melalui serangkaian usaha tempaan dan belajar secara terus menerus demi kebaikan yang paripurna.
Pendidikan dan peradaban bukanlah ditujukan untuk profesi atau pekerjaan tertentu saja, tapi ditujukan untuk segenap lapisan masyarakat yang terdiri dari suku atau ras manapun. Beberapa orang tampaknya masih membatasi makna pendidikan dan perdaban untuk profesi pendidik alias guru atau dosen saja, agaknya hal itu sangat kurang tepat. Justru, pelaku pendidik yang utama dan pertama dalam kehidupan individu adalah ibunya. Sudahkah kita melakukan kontemplasi mendalam atas jasa-jasa besar beliau yang telah digoreskan dalam fase kehidupan kita sejak prenatal sampai dewasa ini ?. Ibu biologis kitalah yang mengawali peranan sebagai pendidik jiwa dan raga kita sejak bayi sampai tak terbatas masanya.
Penulis ingin mengingatkan kembali betapa urgennya peranan perempuan, dalam hal ini ibu sebagai pendidik utama dan yang pertama untuk anak-anaknya. Dari sudut rumahnya yang nyaman, ibu membangun peradaban yang gemilang untuk masa depan umat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh penyair legendaries Nabil Hafidh Ibrahim “Ibu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya. Jika ia menyiapakan dengan baik, maka dia menyiapkan generasi yang cemerlang di masa mendatang”. Tak hanya sosok ibu saja yang dibutuhkan seorang anak, namun seorang ayah wajib terlibat dalam pendidikan. Sebab ayah menyandang sosok kekuatan dan potret pemimpin. Sebuah rumah peradaban dikatakan lengkap jika berpondasi seorang ibu dan beratapkan seorang ayah, dari rumah peradaban inilah generasi-generasi cemerlang dihasilkan melalui tempaan pendidikan yang gradual.
Keterlibatan ayah dalam membangun peradaban rumah sangat dibutuhkan oleh pihak ibu, karena ayah mengomandoi terhadap laju berjalannya pendidikan dari dalam rumah. Jika sebuah sekolah formal tingkat sekolah dasar saja memiliki kurikulum sekolah, sudakah kita sebagai pendidik utama dan pertama untuk anak-anak biologis kita memilikinya? Atau sudahkah kita menyusunnya ?. Kedengarannya agak aneh untuk sebagian orang, tapi kurikulum dasar di rumah adalah acuan utama dalam melakukan pendidikan dari dalam rumah sebelum anak-anak sekolah di luar rumah.
Memaknai kalimat luar biasa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara “Setiap rumah adalah sekolah, dan setiap orang menjadi guru”. Sebagai orang tua, jangan bersikap apriori, bahkan segan dan malu dalam melakukan peran pendidik atau guru di rumah kita masing-masing demi generasi yang berprestasi. Sebab di luar sana, banyak anak-anak yang secara materi tercukupi oleh ayahnya, namun jiwanya dilanda kegersangan. Menurut penuturan seorang psikologi ternama, Elly Risman mengungkapkan bahwa Negara Indonesia dilanda “Father Hunger” lapar ayah, adanya ayah layaknya tiada. Membesarkan raga anak dengan segalanya, namun jiwanya tak disentuh oleh nilai-nilai keluhuran.
Dalam al-qur’an, Allah menyuguhkan potret pendidikan paripurna yang diperankan oleh keluarga Imran. Lelaki biasa, bukan dari golongan nabi maupun rasul yang berhasil mendidik istrinya dalam kesabaran dan tawakkal. Istrinya bernama Hannah, sosok ibu shalihah yang mendidik anaknya sejak dalam rahimnya dengan nilai ketauhidan, kebaikan, pendidikan, kejujuran, dan sederetan nilai luhur yang lain. Ketika anaknya sudah lahir disematkan nama Maryam, qaddarullah suami Hannah meninggal. Lantas, pendidikan tidak berakhir begitu saja. Melalui skenario apik yang sudah dipersiapkan Allah, terpilihlah Zakariya yang tak lain sebagai paman Maryam sebagai guru atau pendidik baginya dan sekaligus sebagai ayah ideologis lewat seleksi tertentu.
Ketika Maryam sudah dewasa, Allah berikan ujian berupa kehamilan yang tidak pernah dialami manusia yang lain. Dia adalah wanita pilihan Allah yang disucikan dan diabadikan namanya dalam al-qur’an. Singkat cerita, dalam masa-masa kehamilannya dia melakukan pendidikan paripurna kepada janin yang berada dalam rahimnya. Hal itu senada yang dilakukan oleh Hannah waktu mengandung Maryam. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, itulah pepatah yang sangat pas untuk menggambarkan potret pendidikan rumah dalam membangun peradaban yang menawan – yang dilakukan oleh keluarga Imran.
Marilah kita bersinergi bersama dengan para anggota keluarga dalam melaksanakan pendidikan gradual dari sudut rumah yang nyaman, sehingga tercetaklah generasi-generasi emas yang siap berkontribusi dalam pembangunan umat pada umumnya dan negara Indonesia pada khususnya. Melalui suguhan al-qur’an, kisah keluarga Imran yang sarat makna patut diteladani dan kita jadikan role model dalam kehidupan pendidikan keluarga kita. Sebab, ketahanan jiwa dan raga dalam pendidikan keluarga adalah segalanya.