Bahagia itu diciptakan. Mencipta bahagia berarti kebahagian itu sendiri. Setiap orang berhak bahagia dalam hidupnya, karena kebahagian sebagai hak dasar manusia. Agama dalam hal ini memberikan ruang gerak yang luas agar pengikutnya dapat menemukan bahagia dan menyebarkan bahagia untuk sesama. Bahkan, menurut pakar tafsir kenamaan, Buya Hamka, bahagia itu dekat, ada dalam diri kita, dalam hati yang dipenuhi rasa syukur dan menerima ketentuan dari Allah SWT.
Tagar #janganlupabahagia menjadi angin segar di tengah masa paceklik di hampir setiap lini kehidupan. Maka tagar itu seolah membawa optimis. Bahagia itu mesti diciptakan dengan kemampuan kita dan dengan orang terdekat dengan kita. Tak perlu mengejar yang amat jauh dari jangkauan, cukup ciptakan bahagia dengan orang-orang terkasih di sekitar anda.
#janganlupabersyukur
Akan lebih sempurna tagar itu jika dilengkapi #janganlupabersyukur. Karena boleh jadi, syukur adalah puncak kebahagian manusia, mencipta bahagia secara luas sebagai upaya agar selalu bersyukur atas nikmat pemberian Tuhan. Sejalan dengan informasi al-Quran, beritakan kabar baik atas nikmat dari Tuhan. Ini menjadi jawaban atas kebutuhan media sosial kita. Semestinya kita isi medsos dengan konten positif dan berfaidah. Termasuk bersedia share dan upload kebahagian di akun medsos kita. Bukan sebaliknya, cenderung dihiasi berita hoax bahkan kabar-kabar picisan dan ujaran kebencian.
Kecenderungan setiap orang untuk bahagia, memang terlahir dari dorongan dirinya. Tapi yang harus diingat bahwa kebahagian kita juga mesti dibatasi agar tidak mengganggu kebahagian orang lain. Bukan tidak mungkin, ini sering terjadi salah paham, dengan motif hak yang hendak dicapai agar bahagia, tapi melupakan bahkan menyepelekan hak orang lain untuk bahagia pula pada waktu yang sama. Maka, lagi-lagi mencipta bahagia ini bermuara pada membahagiakan orang lain.
Teringat kisah kepedulian kaum Anshar yang mendahulukan kebutuhan saudara tamunya -kaum Muhajirin- yang baru hijrah, meski pun pada waktu itu mereka begitu merasa kekurangan dan amat butuh, al-Quran mengabadikan kisah mereka dalam Surat Al-Hasyr ayat 8-10. Di ujung ayat 9, bahkan Allah SWT mendedikasikan mereka sebagai orang dilabeli bahagia, faûlaika hum-ul-muflihûn. Apa sejatinya isyarat ayat ini?. Paling tidak isyarat agar mendahulukan kebutuhan saudaranya adalah sumber kebahagian.
Anshar bersedia membantu kebutuhan dasar saudaranya -Muhajirin- bahkan menjaminnya, membantu mendirikan rumah dan kebutuhan dapurnya. Anshar berkeimanan kuat kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga mengekpresikan kebahagian dengan kebahagian saudara muslimnya.
Keikhalasan Menjadi Pangkal
Ini semata ekspresi hati orang beriman. Maka bahagia itu berpangkal pada penerimaan hati pada setiap kondisi, karena boleh jadi, selama ini kita tertipu pada substansi bahagia hanya terbatas pada harta berlimpah, paras wajah, dan gengsi yang tinggi, sehingga muncul inscure -tidak percaya diri- terhadap pemberian dari Allah SWT.
Penerimaan hati berupa ikhlas adalah kunci dalam bersyukur. Ikhlas menjadi barang mewah yang mahal harganya, karena tak setiap orang mampu memilikinya. Ikhlas mesti dilatih dari hal-hal kecil dan sederhana, bisa dengan sedekah senyuman tiap hari kepada saudara muslim kita, bersedia menawarkan bantuan kepada orang lain dan berlatih untuk menghilangkan pengakuan diri atas segala apa pun yang kita lakukan, meniadakan pengakuan atas kerja keras tapi semata dilakukan murni ikhlas.
Hal serupa juga mesti dibangun pada wilayah paling kecil, yaitu keluarga. Pendidikan keikhlasan harus menjadi prioritas, anak-anak kita didorong agar berprilaku baik tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan manusia, suami dan mesti mesti tergerak untuk menunaikan hak dan kewajiban atas dasar meraih ridha Allah SWT semata.
Kebahagiaan akan selalu tercermin pada sikap dan ucapan, maka sejauh kamu dapat mencerminkan pribadi bahagia, sejatinya kamu telah menempuh langkah pertama kebahagiaan. Ucapan dan sikap yang baik menjadi cermin diri bagi kebahagiaan hati dan jiwa, maka upayakan itu dengan berupaya memenuhi kebutuhan spiritual dan fisik secara seimbang, tuntutan jasmani dan rohani harus selaras, juga pemenuhan iman dan imun juga harus tepat sasaran.
Paling tidak, dengan upaya syukur dan ikhlas hati kita menjadi lebih terkendali dalam meyikapi berbagai tantangan sesulit apa pun dalam kehidupan. Karena secara empiris hidup akan diwarnai dengan gelombang dan pasang surut. Hal tersebut semata agar kita menjadi pribadi yang kokoh dan bijaksana.