Kemelaratan Lingkungan dan Nestapa Eco-Education.-Kemelaratan lingkungan terjadi pada alam yang diperlakukan dengan amat miskin oleh manusia-manusia di sekitarnya. Di Indonesia, sejak kita belajar mata pelajaran yang bernama Ilmu Pengetahuan Alam di jenjang Sekolah Dasar, ada banyak lamat-lamat guru di depan kelas yang mengatakan bahwa kondisi alam negeri ini begitu amat kaya.
Berikutnya di jenjang sekolah menengah pertama, kita kembali diajarkan soal lingkungan oleh matapelajaran-matapelajaran semacam geografi. Buku daras yang kerap dibagikan pada tiap meja siswa mengabarkan tentang betapa kaya alam Indonesia, mulai dari lapisan buminya sampai dengan lapisan langitnya.
Hal yang serupa terus berlanjut didapatkan oleh setiap kita sampai jenjang sekolah menengah atas bahkan sampai dengan perguruan tinggi. Mulut para akademisi sampai dengan politisi sekalipun mengamini doktrin yang terus ditanamkan ini setiap ada waktu dan ruang bagi mereka untuk mengkhotbahkannya.
Sampah-sampah Melebihi Kapasitas
Namun fakta bahwa negeri ini tengah direcoki oleh persoalan sampah adalah masalah yang nyatanya tidak bisa dianggap sepele. Beberapa waktu terakhir media-media mainstream banyak menurunkan berita tentang bagaimana negeri ngayogyakarto hadiningrat tengah digaruk tubuh alam sosialnya oleh tumpukan-tumpukan sampah. Imbas dari ditutupnya TPS Piyungan yang sudah sangat megap-megap dalam memikul beban sampah kota menyebabkan banyak kardus dan wadah sampah berserak liar tidak dapat diangkut.
Tidak beda dengan yang terjadi di Yogyakarta, media mainstream juga menurunkan berita yang sama namun berada di tempat yang berbeda pada beberapa waktu sebelumnya. Yakni Tempat Pembuangan Akhir Cipayung Depok yang telah melebihi kapasitas sejak tahun 2019. Ratusan truk sampah antre sampai berjam-jam untuk masuk menurunkan sampah-sampah yang mereka bawa.
Kehadiran sampah di setiap rumah sejatinya adalah ekses dari jalan modernitas yang dipilih. Era industri yang begitu memesona dari segi tampilan lahir dan proses yang begitu instan namun luput akan ekses buruk yang mengintainya, utamanya terhadap lingkungan tempat di mana manusia hidup. Kondisi tersebut adalah paket yang mesti diterima oleh manusia atau minimal mesti dihadapi dan disikapi bila tidak hendak menerima dengan pasrah begitu saja.
Pendidikan Ekologi Berkelanjutan
Pendidikan tetap menjadi langkah awal untuk mencegah kondisi lingkungan yang semakin parah. Edukasi tentang bagaimana etika dengan lingkungan harus diajarkan sedari dini pada setiap insan manusia. Saya kira ajaran tentang kealaman ini tidak akan pernah berakhir sampai dengan akhir hayat setiap manusia di dunia. Sebab bukankah hidup kita sehari-harinya memang berinteraksi dan bergumul dengan alam?.
Di Jepang, anak-anak di jenjang sekolah dasar diajarkan tradisi souji. Tradisi ini berupa pembiasaan membersihkan lantai dengan kain setelah makan siang anak-anak selesai. Tidak hanya itu, masyarakat Jepang menuangkan ide filosofis dalam tradisi tersebut dengan falsafah “osoji wa jibun jishin wo migaku koto” yang artinya “membersihkan adalah memoles diri sendiri”.
Pendidikan ekologi sejatinya adalah ajaran tentang bagaimana manusia hidup berdampingan dengan alam dan saling memberikan manfaat satu sama lain. Dua kubu ini benar-benar menyucikan diri dari kultur eksploitasi.
Lingkaran Kolaborasi
Untuk menyelamatkan lingkungan dari kemelaratan memang tidak bisa ditangani sendirian dari aspek pendidikannya semata. Sebab ada tiga pilar yang sangat berpengaruh dalam pembangunan, yakni pilar lingkungan, ekonomi dan sosial. Artinya, bila lingkungan hendak diselamatkan dan dikembalikan marwah ekologinya maka harus dibarengi juga dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang ramah akan lingkungan.
Persoalan sampah yang menumpuk di beberapa kota yang ramai diberitakan media akhir-akhir ini mesti disikapi dengan cara yang modern dan ilmiah. Skema mulai dari pengurangan produksi sampah mesti dilakukan sebagai langkah pengguntingan lingkaran busuk paling awal.
Berikutnya, metode yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah metode daur ulang dan re-use. Penanganan ini dapat diberlakukan pada sejumlah atau beberapa macam jenis sampah. Para tenaga ahli mesti diterjunkan dalam langkah ini, sebab tidak semua masyarakat mafhum atau mahir dalam proses daur ulang dan re-use.
Sampah yang masih tersisa dan belum bisa berhenti pada saringan sebelumnya, maka mesti masuk dalam zona Waste to Energy. Keberadaan perlengkapan teknologi adalah hal yang niscaya pada tahap ini. Pengadaan teknologi tersebut rasa-rasanya bukanlah hal yang rumit, mengingat banyak negara-negara maju yang memakai prinsip serupa ditambah dengan anggaran belanja negara yang dapat dialokasikan pada pos tersebut. Sebelum kemudian langkah terakhir dari penanganan sampah-sampah tersebut adalah dibakar dan dibumi hanguskan (Landfill).
Teks-teks Hijau Agama
Agama dalam hal ini Islam, bukannya absen dalam isu-isu lingkungan. Namun memang atensi dan agitasi akan tema-tema ini masih kalah nyaring dengan tema – tema yang lain. Sehingga seolah-olah agama absen dalam isu-isu lingkungan.
Adagium al-Nazhofatu min al-Iman yang bermakna “kebersihan sebagian dari iman” adalah adagium yang telah laten di masyarakat. Namun sayangnya alih-alih spirit ecoeducation yang muncul justru malah silih adu validasi atas adagium tersebut. Di sini letak pangkal kita mesti menata gerakan perubahan, mengoreksi sah-sah saja namun juga harus dibarengi dengan semangat untuk aktualisasinya.
Akhirnya sebagai pemeluk agama (Islam) kita perlu merenungkan dengan lebih jernih firman Allah SWT tentang alam yang kita tapak.
Surat al-Ruum ayat 41 menerangkan kepada kita tentang ekses negatif yang diperbuat oleh kelaliman manusia. Kerusakan yang terhampar di sepanjang tubuh daratan dan lautan tiada lain akibat kemaksiatan manusia terhadap lingkungan. Seluruh bencana yang menabrak kehidupan kita adalah halauan dari Allah SWT agar kita kembali kepada fitrah sebagai hamba-Nya yang mesti menyemai kebaikan. Bukan malah menanam bahkan melanggengkan kebusukan.