Sebagai salah satu pesantren yang diperhitungkan di wilayah Jawa Barat, Pondok Pesantren Darussalam Ciamis adalah salah satu pesantren ternama di Kabupaten Ciamis yang pernah dipimpin oleh seorang kiyai kharismatik; yang dikenal dengan nama KH. Irfan Hielmy. Masyhur akan pemahaman moderasinya dalam menghadapi perbedaan di tubuh umat Islam, yang kadang cenderung taqlid dalam mengikuti ormas tertentu dan terpaku dengan pemahaman yang dianut.
Ahmad Fadlil, ayahanda dari KH. Irfan Hielmy, mulai mendirikan pesantren dari tanah wakaf warga yang terdapat di Dusun Tjidewa pada tahun 1929, yang kemudian lebih dikenal sebagai Pesantren Tjidewa. Pesantren sederhana ini hanya terdiri dari sebuah pondok kecil dan sebuah masjid, sehingga beberapa santri setempat dapat mondok dan belajar ilmu-ilmu agama di sana, yang mencakup ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah, hingga perbandingan madzhab, di samping kitab-kitab ilmu sharaf dan ilmu nahwu. Selain pengajian, para santri juga diajak mengolah sawah, bercocok tanam, dan diberi contoh bagaimana memelihara bilik dan memakmurkan masjid. Hingga saat ini, pesantren telah meluluskan ribuan alumni yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Ketika KH. Ahmad Fadlil wafat, KH. Irfan Hielmy menjadi pucuk pimpinan pesantren dan melakukan berbagai “reformasi” pada visi, lembaga pendidikan, hingga sistem pendidikan pesantren. Salah satunya, adalah mengubah nama Pesantren Tjidewa menjadi Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat.
Visi Memandang Jauh ke Depan
Buku “KH. Irfan Hielmy: Pemimpin Moderat Panutan Ummat” menerangkan, bahwa dalam mengembangkan pesantren Darussalam, beliau mencanangkan sistem pendidikan yang berbasis pada visi yang memandang jauh ke depan. Seiring diperlukannya pemahaman dan pengamalan terhadap ilmu-ilmu semisal nahwu, balaghah, mantiq, ataupun tafsir, para santri juga dituntut dapat menguasai ilmu-ilmu lainnya yang biasa dipelajari di sekolah, baik yang berada dalam rumpun MIPA maupun IPS. Hal ini juga tak terlepas dari proses modernisasi pesantren yang ditandai dengan dirintisnya lembaga pendidikan formal pada tahun 1967, mulai dari Raudhatul Athfal, MI, MTs, MA (yang kelak beralih status menjadi MAN), SMA Plus, Pendidikan Diniyah Formal Ulya, hingga Institut Agama Islam Darussalam.
Terlepas dari bentuk lembaga pendidikan, salah satu aspek terpenting dalam pembentukan karakter santri di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis hingga mereka menjadi alumni terdapat pada mottonya, yakni: berupaya mencetak muslim moderat, mukmin demokrat, muhsin diplomat. Menurut Dr. KH. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA., M.Ag., anak ke-4 dari KH. Irfan Hielmy yang dewasa ini menjadi Bapak Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ciamis, menjabarkan bahwa konsep Islam Moderat di Pesantren Darusslam berasal dari intisari surah al-Baqarah ayat 143, yang mana menyebutkan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan. Kata wasath disini dapat dimaknai secara umum; mungkin pertengahan, tengah-tengah, adil, imbang, atau juga bisa berarti keseimbangan. Dengan motto tersebut, KH. Irfan Hielmy dan Pesantren Darussalam berupaya dalam menanamkan dan mengajarkan Islam yang moderat kepada para santri, yang pada akhirnya diharapkan dapat menjadi kebijaksanaan bagi para santri dalam keluasan pola pikir, kesederhanaan sikap, dan sifat tidak berlebih-lebihan.
Tidak Mungkin Menghindari Pertentangan
Motto ini tidak lahir tanpa pertentangan. Namun tersamping adanya perselisihan, KH. Irfan Hielmy merintis motto ini sebagai sebuah cita-cita untuk mendidik santri agar dapat menjadi anak bangsa yang bisa bergaul dengan luwes dan lupes serta mampu mengatasi berbagai persoalan yang ada di masyarakat, tanpa cenderung ke sisi kanan maupun kiri. Seorang santri yang moderat bukan berarti ia akan terombang-ambing di lautan konflik kemasyarakatan yang kerap menimbulkan fanatik kubu, akan tetapi moderat menjadikan seseorang berprinsip terhadap pemahaman yang dianutnya, tanpa mencela pemikiran yang dianut oleh orang lain. Dengan kata lain, seorang santri moderat memiliki pemahaman yang menjadi prinsip dirinya, namun ia tetap menghargai dan menerima pandangan orang lain.
Menurut beliau, mustahil manusia atau umat Islam sendiri tidak berbeda pendapat sama sekali. Dalam masalah yang qath’i (pasti, qath’iyud dilalah), beliau tidak memberikan toleransi karena hal yang demikian sudah menyangkut masalah aqidah, tauhid, dan ibadah yang sudah jelas dalilnya di dalam Alquran maupun sumber hukum Islam lainnya. Namun untuk masalah furu’iyyah (seperti fiqih yang berbeda di antara berbagai macam madhzab), seperti mu’amalah ataupun aspek ibadah yang masih terdapat ikhtilaf, beliau masih mentolerir hal tersebut karena tiap-tiap ritual ibadah pasti berdasarkan dalil yang terdapat dalam salah satu sumber hukum Islam, baik yang ittifaq (disepakati: Alquran, Hadits, Ijma’, Qiyas) maupun mukhtalaf (diperselisihkan: seperti istihsan, istishab, qaul shahabi, dan lain sebagainya).