Sore kemarin salah satu kawan MID mengabarkan berita duka sekaligus memohon untuk diselenggarakannya shalat ghaib dan doa bersama. Satu guru dari sekian guru yang mulia di negeri ini telah kembali pada-Nya. Bakda maghrib di salah satu pesantren boarding school di Yogyakarta penulis mendirikan shalat ghaib untuk Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi.
Pertemuan penulis dengan Sang Kyai terbilang cukup singkat. Dapat sowan ke tempat beliau meskipun sedang dalam keadaan sakit saat itu adalah berkah tersendiri yang sampai saat ini menjadi satu tangkai semangat hidup untuk terus berkarya untuk peradaban. Semua tidak lepas dari “provokasi” seorang kawan dari Pondok Modern Darussalam Gontor bernama MZA yang selalu berkisah tentang keluhuran beliau.
Di ndalem-nya penulis bertemu dengn sosok penuh keteduhan dan khraisma itu sedang bercengkrama dengan suasana pagi ditemani salah satu putranya bernama ZF. Penulis datang dengan beberapa teman, ada empat orang FAA, FO dan MZA. Beruntung pula di pagi yang cerah itu kami disambut hangat oleh Madam Syukri, istri dari Kyai Syukri.
Madam Syukri berkisah cukup panjang tentang suaminya dan segala hal yang telah mereka lalui dalam menunaikan amanah sebagai satu dari Trimurti Gontor. Tentang bagaimana ia begitu sabar dan setia menemani perjuangan Kyai Syukri. Tentang kerelaannya untuk dinomor-duakan dengan pondok oleh Sang Kyai. Sebab konon di Gontor siapapun pemimpinnya maka istri pertama yang dianugerahkan adalah pondok.
Penulis kira bila kala itu Kyai Syukri telah sembuh dari sakitnya, mesti beliau yang akan berkisah dan bertutur dengan retorikanya sendiri. Kurang lebih seperti Ustadz H yang kami sowani di Gontor 2. Namun pada kesempatan itu seolah Sang Kyai mengatakan bahwa biarlah kali itu istri dan putranya yang menyampaikan berbagai buah pikirnya.
Dari Madam Syukri penulis tahu bagaimana Kyai Syukri memiliki visi besar dalam membangun kembali peradaban Islam. Dirinya tidak kemana – mana tapi selalu ada di mana-mana, ini salah satu taktik dakwah yang sempat disampaikan dalam forum itu. Kaderisasi di manapun berada dan berupaya untuk menanam benih-benih semangat yang akan terus tumbuh di belahan bumi manapun yang sempat disinggahi.
Kisah yang paling heroik adalah tentang pemikiran Kyai Syukri yang mengajak beberapa sahabat termasuk istrinya mengunjungi Syanggit. Di tengah perjalanan menuju ke sana, kafilah bertemu dengan sorang wanita Indonesia yang tinggal di sekitaran sana. Dengan sedikit heran wanita itu bertanya kepada kafilah mengapa kiranya mereka hendak berkunjung ke Syanggit, sebab di sana situasinya sedang tidak begitu aman.
Setelah mendapat beberapa informasi kondisi terkini tentang Syanggit dari wanita itu yang cukup mencekam, tidak ada sedikitpun surut Kyai Syukri dengan kafilahnya untuk berbailik arah mengurungkan perjalanan. Justru yang ada mereka siap untuk menjemput akhir cerita bila memang harus di sana ujungnya. Namun ternyata Allah SWT memiliki kehendak lain untuk terus memberikan kemudahan kepada kafilah ini sehingga tercapai hasil yang dimaksud.
Kawan penulis MZA sering mengatakan bahwa bagi Gontor ada empat lembaga pendidikan Islam dunia yang menjadi inspirasi sehingga hendak disintesiskan. Pertama adalah Universitas Al-Azhar Kairo Mesir yang memiliki wakaf sangat luas sehingga dapat mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia serta mampu memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di sana. Kedua adalah Aligarh, India yang memiliki perhatian cukup besar terhadap pembaharuan sistem pendidikan dan pengajaran. Ketiga adalah Syanggit, Mauritania yang diliputi sikap dermawan dan ikhlas dari para pengasuhnya. Keempat adalah Santiniketan, India yang terkenal dengan segala kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya.
Tatkala melihat kondisi Syanggit saat ini yang sudah cukup jauh berbeda dengan kondisinya di beberapa abad sebelumnya, Kyai Syukri sempat berpikir ingin membawa beberapa pelajar di sana untuk mendalami berbagai pengetahuan di Gontor. Dengan harapan setelahnya selesai di Indonesia mereka dikembalikan ke Sanggit untuk kembali membangun kejayaan peradaban mereka di masa lalu.
Dalam suasan hangat itu putra Kyai Syukri juga turut menyumbang buah pikirnya. ZF mengatakan bahwa saat ini dalam konstelasi pendidikan Islam tengah muncul klaster lembaga pendidikan Islam dengan fasilitas-fasilitas lebih modern dan elit. Dengan sendirinya memnculkan tantangan bagaimana transfer of values bisa ditransmisi dengan baik di tengah berbagai fasilitas institusi yang serba berkecukupan bahkan mewah.
Dari ZF penulis juga beroleh pengetahuan bahwa konon salah satu insiprasi Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dalam mencetuskan teori Pohon Ilmu itu adalah berasal dari pohon buah asam yang ada di Gontor. Tidak jarang Pak Imam Suprayogo bertemu dan berdiskusi dengan Kyai Syukri dalam berbagai kesempatan dan berbagai topik pembicaraan.
Terakhir kami menyerahkan stofmap berisi kertas, memohon Madam Syukri berkenan menulis pesan yang akan kami bawa ke Yogyakarta dan menjadi simbol sanad silaturahim. Berikut menjadi nasihat yang akan senantiasa dipegang, dijunjung dan diluhurkan. Pertemuan itu memang begitu singkat, sebelum pulang kembali ke Yogyakarta penulis sempatkan mampir ke toko buku milik Gontor, membeli buah karya Kyai Syukri berjudul Bekal Untuk Pemimpin. Di sini penulis mengkaji pemikiran dan keteladanannya yang meng-abadi. Dan ketika membuka stofmap tadi, dalam kertas itu Madam Syukri menulis “Berjasalah, jangan meminta jasa”.
Selamat jalan Kyai Syukri. Berbahagialah dalam perjumpaan dengan-Nya, di sebanar-benarnya kampung nan damai, kampung nan abadi.