Socrates merupakan salah satu pemikir besar dalam sejarah filsafat Yunani. Namanya melambung begitu tinggi dalam peradaban kancah kefilsafatan. Kontribusinya dalam filsafat tiak dapat dipungkiri lagi oleh kalangan intelektual, terkhusus pada bidang filsafat. Socrates dikenal sebagai salah satu filosof yang memiliki kontribusi besar pada filsafat politik. Bahkan, tidak dapat dipungkiri lagi, dibeberapa literatur disebutkan bahwa socrates merupakan pemikir yang meletakan dasar perpolitikan melalui gaya filsafatnya.
Socrates merupakan murid dari filosof besar Yunani yakni Phytagoras juga merupakan guru pemikir Besar Yunani yang paling terkenal yakni Plato. Ia lahir di Athena, salah satu daerah di wilayah Yunani. Masa hidupnya antara 470 SM- 399 SM atau sekitar 71 tahun.
Ia merupakan buah hati dari seorang ahli batu (pemahat) yakni ayahnya bernama Sophroniskos dan ibunya bernama Phainarete sebagai seorang yang bekerja di dunia perbidanan. Ia memiliki seorang istri bernama Xantippe dan dalam rumah tangganya dikaruniai 3 anak.
Dalam gelanggang filsafat
Nama Socrates begitu populer dalam kefilsafatan, hal ini tidak lain karena pemikirannya yang berbeda dengan para pendahulunya yakni Thales dan segerombol filosof alam. Bagi Socrates, karakter pemikiran para pendahulunya merupakan spekulasi yang tidak memberikan manfaat pada manusia terkhusus pada pengetahuan yang benar. Ia memberi kritikan atas para pemikir dahulu dengan konstruksi pemikirannya yang lebih menghususkan pada mengenal diri sebagai manusia.
Pemikirannya yang bercorak mempertajam pengetahuan merupakan gambaran kedisiplinannya dalam belajar. Pola atau corak berpikir Socrates dipengaruhi oleh profesi ibunya sebagai seorang bidan, dimana sebagai bidan umumnya menjadi salah satu unsur memahami pola pemikiran pasien yang hendak meahirkan dengan pertanyaan-pertanyaan.
Identitas Socrates disimbolkan dengan hadirnya berbagai pertanyaan yang menjurus kepada pemahaman diri sebagai manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan olehnya begitu renyah dan tidak terpikirkan oleh filosof sebelumnya. Sehingga, karakter berpikir Socrates ditempelkan dengan identitas ibunya yakni bidan, artinya filsafat atau gaya berpikir Socrates melahirkan metode baru yang disebut juga dengan metode sokratik (apa itu; apa maksudnya).
Tidak berhenti disitu saja, berbagai kearifan yang dilontarkan atau diungkapkan oleh Socrates juga terlihat dalam pemikirannya yang mengungkapkan bahwa mustahil bagi seorang manusia mencapai pengetahuan yang sempurna dan menyeluruh dari berbagai realitas yang ada pada berbagai fenomena yang terjadi, jika dirinya (manusia)tidak dapat menegnal manusia diluar dirinya. Oleh sebab itu, bagi Socrates mustahil bagi seorang manusia dapat mengenal manusia lain jika dia (manusia) tidak dapat menemukan jati diri atau mengenal dirinya sebagai manusia dalam suatu subtansi.
Ajaran Pengenalan Diri
Corak kearifan Socrates membawa pesan mendalam berupa konstruksi kritik atau anjuran bahwa setiap upaya dalam usaha berfilsafat, mulailah dari mengenali dirimu, atau dalam istilahnya “gnothi seaution”.
Secara tidak langsung, ungkapannya ini memperlihatkan kedisiplinan Socrates juga prisinsipnya yakni memperbaharui konsep filsafat dari para filosof sebelumnya yang cenderung menjadikan objek filsafat diluar dirinya (ekstraversi; mengarah ke luar) untuk mengembangkannya menuju filsafat yang bermanfaat bagi manusia, terkhusus dalam mempertajam pengetahuan seorang manusia menjadi pemikir sebagai diri sendiri yang memiliki kompeten (introversi; mengarah ke dalam). Secara tidak langsung, Socrates bisa disebut juga sebagai pelopor filsafat antropomorfisme.
Socrates dalam merealisasikan prinsip kefilsafatannya dengan menjelajahi sekitar lingkungan yang ia tuju, artinya ia memiliki kebiasaan yang unik tidak seperti umumnya filosof yang berpikir dengan mencoba menelaah berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi, kemudian menjadi pengamat atas fenomena tersebut dan memikirkannya dengan kritis dan menelaahnya sendiri tanpa dialektika terlebih dahulu dengan yang memiliki pengathuan, Socrates merealisasikan prinsip pemikirannya berbeda dengan umumnya pemikir. Sehingga, tidak jarang banyak intelektual kini yang menghubungkan kecerdasan Plato dalam dialognya dengan gurunya yakni Socrates, mengingat Plato sangat mengeksiskan esensi besar yang dibawa Socrates pada dirinya.
Socrates merealisasikan prinsip dan metode filsafatnya (metode sokratik) dengan berjalan-jalan menjelajahi isi kota, baik yang di lorong-lorong, maupun di taman ia temui dengan tujuan mengajaknya bedialog. Dialektika yang dibawa Socrates dalam mengejar paham dari pembicaraan lawan bicaranya menggunakan petanyaan “apa itu; apa maksudnya”.
Pertanyaan Socrates dalam dialektikanya menuntut lawan bicaranya untuk merumuskan jawaban atas pertanyaannya agar supaya tepat dan lugas. Sehingga, setiap jawaban berbobot dengan pendirian awal yakni berupa definisi yang kemudia ditafsirkan.
Bagi Socrates, definisi (apa itu) merupakan dasas awal atas filsafat lanjutannya. Tanpa adanya jawaban (apa itu) dari pasien atau lawan bicara, maka tidak ada kelanjutan. Sehingga, untuk menuju pertanyaan selanjutnya (apa maksudnya) harus berpijak pada definisi awal dari pertanyan apa itu. Tanpa adanya definis, semua arti memiliki jurang yang rawan atas terjadinya berbagai penafsiran yang bebas tidak terstruktur.
Adapun sasaran Socrates dalam dialognya yakni para pemuda di Athena. Hal ini dipilih Socrates dengan konstruksi argumennya bahwa pemuda di Athena umumnya masih murni, belum terlalu banyak terdoktrin oleh kalangan para tetua yang cenderung kolot dan kaku di Athena, sehingga mudah untuk diajak dialog sehat. Dalam hal ini, pendiriannya dipijaki oleh pandangan dasar bahwa perbaikan kondisi hanya bisa diubah melalui proses kearifan (wisdom; kebijaksanaan) dan keutamaan (virthue; kebijakan) yang dikembangkan dalam lingkungan pemuda.
Ironisnya, pemikiran Socrates dan dialektikanya dianggap oleh pemerintah Athena sebagai sumber kerusakan pada pemuda di Athena, terkhusus perihal kepercayaan yang kemudian dalam perkembanganya secara tidak langsung menjadi objek dialog para pemuda di Athena. Oleh sebab itulah, ia dihukum oleh pemerintah pada masanya dikarenakan sebab itu. Alhasil, Socrates divonis hukum dengan diberikan opsi 2 pilihan, yakni bebas dengan syarat menghentikan aktivitas dialektikanya di Athena atau minum racun yang mematikan.
Akhirnya, Socrates memilih opsi minum racun yang mematikan yang telah disediakan pemerintah Athena sebagai hukumannya. Mirisnya, Socrates merupakan peletak dasar filsafat politik dan dalam sejarah ia disebut sebagai salah satu korban perpolitikan permerintahannya. Pilihan Socrates didasarkan pada prinsip awalnya yakni berupa kearifan. Baginya, yang berharga ialah ajaran dan prinsipnya harus ditegakkan dengan benar dan abadi, bukan dirinya.
Dari Socrates, kita dapat mengambil hikmah bahwa mengenal diri merupakan satu cara untuk mengenal luar diri. Bukan itu saja, Socrates juga mengajarkan bahwa mempertajam pengetahuan itu penting, salah satunya melalui dialog sehat yang tidak kaku juga kolot, sehingga dapat menemukan kearifan dalam suatu dialektika. Bahkan, Socrates juga mengajarkan dalam akhir hidupnya, bahwa kebenaran harus konsisten ditegakkan meskipun kematian menjadi lawan diri, kebenaran tidak boleh berubah oleh apapun.