Melahirkan Pancasila dan Mematikan Perpecahan

banner 468x60

Banyak orang yang berdebat kapan Pancasila itu lahir, utamanya mereka yang banyak berkait kelindan dalam pengetahuan kesejarahan. Namun faktanya Pemerintah sampai saat ini menetapkan bahwa setiap tanggal satu bulan juni, Republik ini melaksanakan peringatan hari lahirnya Pancasila yang digagas oleh presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Perjalanan lahirnya Pancasila bukanlah perjalanan singkat yang berangkat pagi dan pulang petang. Tapi benar-benar seperti proses kelahiran manusia yang sampai menembus waktu berbulan-bulan baru dapat dilahirkan ke dunia.

Jalan Terjal Sejak Penggagasan

Read More

Ahmad Syafi’i Ma’arif mendokumentasikan dengan sangat apik dan rinci bagaimana produk pemikiran bernama Pancasila itu dibawa ke tengah-tengah Majelis Konstituante. Para penghuni majelis berramai-ramai memperdebatkan rumusan yang bakal jadi Dasar Negara Republik ini. Kecurigaan antar kelompok semakin memperkeruh suasana dan semakin membawa arah pembicaraan pada situasi kritis yang semakin panjang. Sebut saja misalnya kelompok-kelompok yang berhaluan nasionalis modernis dan kelompok-kelompok Islam. Hal ini memantik Soekarno menjatuhkan dekrit untuk menghentikan perang argumentasi tersebut.

Tentu kita bisa memahami bahwa setiap yang duduk di siding Majelis Konstituante berbicara sesuai dengan ideologinya masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang menghendaki kemajuan dan kemuliaan Negeri ini pasca peraihan kemerdekaannya. Bukan orang-orang yang hanya duduk menghadiri sidang dengan acap kali tertidur lalu pulang dengan amplop kehadiran. Buya Syafi’i sampai mengkalkulasi lama waktu tempuh perjalanan terjal kelahiran Pancasila yang menembus angka 20 bulan (November 1957 sampai Juni 1959).

Sejak 5 Juli 1959 segala usulan yang berkaitan dengan Dasar Negara, utamanya perihal penggantian Pancasila secara konstitusional menjadi hal yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Kecuali bila Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat menghendakinya sebagaimana tertuang dalam pasal 37 UUD 1945. Di sini kita melihat bagaimana Bung Karno memberikan gerakan penguncian untuk menutup lembar perdebatan dengan segala resiko yang siap ia tanggung. Di antara resiko itu adalah terlabelkannya figur Soekarno yang tidak sejalan dengan paham demokrasi dan Pancasila itu sendiri oleh sebagian kalangan.

Mematikan Perpecahan dan Pertarungan Hari Ini

Hari ini orang yang menghujat Pancasila pun masih ada saja dan masih numpang hidup di negeri ini. Meski tidak dengan cara terang-terangan dan entah di forum yang mana suaranya keluar dan menggaung. Namun itulah konsekuensi logis dari demokrasi, di mana manusia yang hidup dalam sistem demokrasi ini harus juga mengakui keberadaan kelompok yang justru tidak menghendaki demokrasi itu sendiri.

Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia telah berhasil melahirkan dan “membaptis” Pancasila sebagai Dasar Negara. Selain itu Bapak Proklamator ini juga berhasil “mematikan” perpecahan Majelis Konstituante kala itu meskipun eksesnya masih kerap kali memercik sampai saat ini. Waktu telah menunjukkan bahwa Pancasila pada akhirnya bukan hanya berfungsi sebagai Dasar Negara yang diakui oleh pemerintah namun juga menjadi monumen persetujuan politik nasional.

Hari ini perdebatan puluhan taun silam itu berubah menjadi arena pertarungan sengit. Perhelatan tentang bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila itu dalam dimensi kehidupan sehari-hari dalam segala sektornya. Sebuah aktualisasi yang bukan hanya berhenti dengan memasang poster peringatan hari kelahiran Pancasila di platform-platform media sosial dengan paragraf-paragraf pidato yang retoris.

Isu-isu nasional yang harus dituntaskan dengan semangat Pancasila masih menumpuk di pundak pemerintah dan bangsa ini. Hari ini di antara sekian lidah yang mempertanyakan aktualisasi Pancasila menunjuk-nunjuk soal kasus Kivlan Zain, Alfian Tanjung, Habib Riziq Syihab, Ruslan Buton. Belum lagi kasus besar lainnya dalam bidang ekonomi seperti Jiwasraya dan Pandemi Covid-19 dalam sektor kesehatan. Sekali lagi, bukan berarti Pancasila adalah solusi segala persoalan negeri ini dengan nada yang reduktif seperti yang dilakukan oleh orang-orang HTI dengan doktrin khilafahnya. Namun semangat kita dalam mengaktualisasikan Pancasila tersebut yang perlu dihidupkan kembali untuk menuntaskan berbagai persoalan berbangsa dan bernegara serta sektor-sektor lainnya.

Terakhir di penghujung artikel ini kita diingatkan oleh pertanyaan lawas Ahmad Syafi’i Ma’arif bahwa mengapa negeri ini tak kunjung siuman secara moral dan politik?. Hatta beberapa tahun sebelum meninggalnya mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari Pancasila hanya diamalkan di bibir saja, hanya sedikit manusia yang menanamkan Pancasila sebagai keyakinan yang berakar dalam hatinya. Semua pertanyaan dan dawuh tersebut adalah ajang refleksi kita saat ini untuk kembali melahirkan Pancasila yang lebih suci dari laku kita sebagai generasi Republik ini.

Related posts