Ada satu momen menarik yang pernah dicatat oleh sejarah, yaitu sesudah Pemilihan Umum 1955. Baru beberapa bulan bekerja, ada kejadian di mana salah satu menteri dalam kabinet ditangkap atas tuduhan korupsi. Untuk menjaga wibawa kabinet, disarankan agar menteri yang dituduh korupsi itu mengundurkan diri atau menyatakan non aktif sampai terbukti bahwa dia tidak korupsi. Didukung oleh Partainya, menteri yang bersangkutan menolak saran simpatik itu. Akibatnya, wibawa kabinet makin merosot.
Dalam kondisi demikian, Presiden Soekarno yang diharapkan dapat menyejukkan keadaan dengan bimbingannya yang bijak, alih-alih dapat meneduhkan suasana, justru Bung Karno menyampaikan pidato berapi-api yang menyatakan bahwa seluruh masalah negara ini bersumber kepada keberadaan partai-partai politik yang menurutnya merusak persatuan bangsa.
Bahkan Maklumat Pemerintah No. X Tahun 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Bung Hatta yang mengizinkan berdirinya partai politik adalah sebuah Kesalahan. Ini membuat suasana dikalangan tokoh politik semakin gaduh.
Hal inilah yang mendasari Bung Karno melahirkan sebuah konsepsi pemerintahan yang dinamakannya “Demokrasi Terpimpin”. Namun dua tahun kemudian Bung Hatta menulis karangan di beberapa surat kabar yang intinya menolak Konsepsi Presiden (Demokrasi Terpimpin). Sayangnya pandangan Bung Hatta tidak berdampak apa-apa, justru konsepsi presiden semakin lantang meluas.
M. Natsir bersama Pemimpin partai lain (NU, PSII, Partai Katolik, dan Partai Rakyat Indonesia) sama-sama menyatakan tidak setuju dengan cara-cara yang digunakan Bung Karno.
Dari sini kita dapat melihat perbedaan paham yang sangat mencolok antara tokoh-tokoh bangsa di awal membangun negara ini. Masing-masing dari mereka punya persepsi tersendiri tentang Demokrasi sebagaimana yang dilakukan oleh M. Natsir. Ia membagi makna Demokrasi menjadi dua bagian: Demokrasi Politik yang menjamin kemerdekaan berpikir – berbicara – berserikat – beragama dan Demokrasi Ekonomi yang menjamin keadilan sosial bagi setiap anggota masyarakat.
Apa yang dikemukan M. Natsir soal definisi Demokrasi adalah dua bagian yang tidak bisa dipisahkan, jika salah satu tidak terpenuhi, alhasil akan pincang. Bung Karno sendiri yang mengatakan, “De mens left niet van brood alien”, (Manusia itu tidak cukup dengan roti saja).
Perseteruan para tokoh bangsa di awal kemerdekaan tentang Demokrasi punya banyak perbedaan dalam memahami satu hal. Maka tidak sedikit tokoh-tokoh yang bertentangan paham dengan penguasa saat itu akan berakhir dibalik jeruji besi. Belakangan kita sama-sama ketahui di akhir hidup Bung Karno yang dianggap sebagai tahanan politik semasa pemerintahan Soeharto. Namun ada yang menarik dari mereka, sama sekali tidak menyimpan dendam satu sama lain.
Natsir berpandangan, tidak ada demokrasi kalau tidak diperbolehkan membanding pendapat atau menyatakan pendapat yang berlainan.