Perjumpaan pertama dengan nama Imam Muhammad Ali al-Shabuni adalah tatkala penulis masih menjadi santri di salah satu pondok pesantren Jatiwangi-Majalengka. Saban pagi Mang Haji (Panggilan akrab untuk pimpinan pondok pesantren penulis di sana) selalu mendedah tafsir al-Qur’an.
Mang Haji dan Tafsir Muhammad Ali al-Shabuni
Biasanya pengajian dimulai setelah selesai shalat shubuh berjamaah di masjid pondok dengan jamaah kampung sekitaran sana. Kecuali pada hari sabtu yang biasanya dipakai untuk pembacaan maulid shimtu al-durar yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Syakur. Seorang Ustadz di sana yang padanya penulis sorogan kitab Jurumiyyah setelah ada insiden di sekolah karena tidak kunjung paham tentang sistem I’rab.
Pada awalnya penulis hanya mengikuti halaqah pengajian itu seperti jamaah lain yang di depannya terbuka mushaf-mushaf Al-Qur’an bermerek thoha putra. Masih belum tahu kitab apa yang dibaca oleh Mang Haji dalam mendedah ayat-ayatnya. Kecuali kalau sore biasanya Mang Haji membacakan Kitab Tafsir Jalalain di ruangan depan rumah Mang Haji yang kerap dipenuhi santri sampai teras.
Baru di suatu ketika saat menjelaskan tentang tafsir yang dibacanya Mang Haji sempat mengucapkan nama Kitab dan penulisnya. Hal ini karena penulis tidak mengikuti pengajian kitab tersebut dari awal dan masih bersemayam rasa sungkan untuk menanyakannya. Barulah setelah mengikuti beberapa kali pengajian tersebut penulis tahu bahwa kitab yang dibacakan oleh Mang Haji adalah kitab Shafwatu Tafasir yang ditulis oleh Imam Muhammad Ali al-Shabuni.
Citra Muhammad Ali al-Shabuni
Setiap penjelasan Mang Haji tentang apa yang diketengahkan oleh Imam al-Shabuni dalam kitab tersebut biasanya penulis catat dalam buku catatan ngaji. Karena saat itu dana di dompet belum cukup untuk membeli kitab tersebut. Terlebih saat itu belum tahu juga di mana tempat belinya, karena saat itu aplikasi-aplikasi market place seperti shopee, bukalapak, tokopedia dan lain-lain masih belum lahir.
Meskipun demikian penulis masih begitu sangat menikmati paparan-paparan dari Imam Al-Shabuni sendiri. Di tambah Mang Haji sangat begitu apik dan kontekstual dalam menjelaskan kepada para jamaahnya yang beragam. Mulai dari yang begitu khusyu mendengarkan sampai yang khusyu sampai duduk ketiduran.
Bahkan ketika sudah hijrah ke Yogyakarta pun, penulis masih menyempatkan diri mengikuti majelis shubuh-nya Mang Haji bila sedang berlibur ke Majalengka. Baik untuk mengikuti kajian shafwatu tafasir ataupun berbincang tentang ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti tasawuf dan sirah nabi.
Sosok Imam Ali al-Shabuni
Beliau memiliki nama lengkap Muhammad Ali bin Jamil al-Shabuni. Beliau adalah salah satu tokoh dengan status Guru Besar di Fakultas Syariah dan Dirasat Islamiyah, Universitas Umm al-Qura’, Makkah. Salah satu universitas terkenal yang ada di Arab Saudi.
Beliau dilahirkan di Halb atau Aleppo pada tanggal 1 Januari 1930 M. Beliau lulus dari sekolah tingkat menengah atas di Syiria. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Universitas al-Azhar, Mesir. Pada 1952 beliau berhasil memperoleh ijazah master (S2) dalam bidang Peradilan Islam. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Imam al-Shabuni juga melanjutkan studinya pada tingkat doktoral di kampus yang sama atas biaya Kementrian Wakaf Syiria.
Setelah itu, beliau mendapatkan tawaran mengajar di Fakultas Syari’ah Universitas Umm Al-Qura’ dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas yang disebutkan ini terletak di Kota Mekkah. Beliau menenggelamkan diri dan menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini kurang lebih selama 28 tahun.
Perjalanan Intelektual Muhammad Ali al-Shabuni
Sosok Imam Muhammad Ali al-Shabuni juga dipercaya untuk menjadi kepala Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Sampai saat inipun (sebelum meninggal) beliau tercatat sebagai guru besar ilmu tafsir di Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Seorang Syaikh dari Suriah ini bukanlah seorang tipikal intelektual yang senang berkhalwat di menara gading dengan tumpukan buku-buku. Namun rupanya di samping mengajar di kedua Universitas Umm al-Qura’ dan Universitas King Abdul Aziz, Syekh Ali al-Shabuni juga tidak jarang memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum bertempat di Masjidil Haram.
Di samping itu beliau juga adalah seorang ualam yang sangat produktif dalam berkarya. Beberapa karya beliau di antaranya adalah sebagai berikut; Tafsir Shafwah al-Tafasir, Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an, Nubuwwah al-Anbiya, Mukhtashar Tafsir ibn Katsir, Mukhtashar Tafsir at-Thabari, Qabs min Nur al-Quran, Tanwir al-Adzhan Min Tafsir Ruh al-Bayan, al-Mawarits Fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, ‘Ala Dhou’i al-Kitab wa al-Sunnah.
Berpulangnya Sang Syaikh
Kabar berpulangnya Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni menyeruak saat hari jumat pad tanggal 19 Maret 2021, yang bertepatan dengan 6 Sya’ban 1442 H. Seorang ulama asal Damaskus bernama Muhammad Wail al-Hanbali, menuliskan kabar duka tersebut melalui akun Twitternya.
“Telah wafat beberapa menit lalu, di Kota Yalova, dekat Istanbul, pada Jumat dhuha, bertepatan 19 Maret 2021 M, al-Allamah al-Mufassir al-Mu’ammar al-Syeikh Muhammad Ali bin Jamil Al-Shabuni al-Halabi,” tulisnya di laman twitter pribadinya.
Syekh Muhammad Ali al-Shabuni meninggal dalam usia 91 tahun. Sebuah usia yang sangat singkat dan terlalu cepat bagi umat Islam yang begitu dekat dengan figur dan nasihat-nasihatnya. Umat muslim masih perlu dan butuh akan nasihat dan ajaran-ajaran beliau. Namun rupanya Allah SWT telah begitu rindu untuk bertemu dengan sang Syaikh.
Semoga Allah SWT menempatkan Sang Syaikh dalam rahmat-Nya yang sejuk dan teduh. Pun semoga kita bisa menimba berbagai pengetahuan dan meneladani akhlak-akhlak mulia yang dimilikinya. Aamiin.
1 comment
Comments are closed.