Metode Mengajar Dalam Perspektif Imam Hanafi

banner 468x60

Pada masa Pandemi seperti sekarang ini, instansi-instansi pendidikan dan keagamaan akan memasuki era New Normal (kebiasaan yang baru). Sehingga diperlukan sebuah metode dalam mengajar yang tidak hanya mengajarkan seorang murid untuk dapat cerdas secara teori, namun juga dapat cerdas secara praktis.

Konsep pendidikan antara guru dan murid juga pernah lahir dari salah satu imam dari empat imam madzhab besar dalam Islam, yakni Imam Hanafi. Beliau tidak menyuruh murid-muridnya untuk begitu saja mengikuti perkataan dan pendapat beliau. Namun, murid-muridnya diajari cara kepemimpinan dan dilatih menjadi orang yang berpikir merdeka.

Read More

Sketsa Biografi Imam Hanafi

Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mahan at-Taymi atau biasa dipanggil dengan nama Imam Hanafi, lahir di kota Kufah pada tahun 80 H (699 Masehi). Imam Hanafi lahir pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, yakni pemimpin ke-5 dari Bani Umayyah.

Imam Hanafi memiliki ayah (Tsabit) yang  berasal dari bangsa Persia (Kabul Afghanistan), namun sebelum Imam Hanafi dilahirkan, ayah beliau telah pindah ke Kufah. Hal tersebut menegaskan bahwa Imam Hanafi bukan berasal dari keturunan bangsa Arab asli, melainkan dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa  Arab: Persia).

Ada sebuah riwayat yang menceritakan tentang ayah Imam Hanafi (Tsabit) dan ayahnya (Zautha; kakek Imam Hanafi), dimana keduanya pernah bersilaturahmi kepada Ali bin Abi Thalib r.a.. Pada pertemuan tersebut, ayah Imam Hanafi (Tsabit) yang masih kecil didoakan oleh Ali bin Abi Thalib;

Mudah-mudahan diantara keturunanmu (maksudnya Imam Hanafi) ada yang akan menjadi orang dari golongan yang baik serta luhur”.

Setelah menikah, Imam Hanafi memiliki beberapa orang putra, diantaranya bernama Hanifah. Sehingga beliau mendapat sebutan nama Abu Hanifah. Sebab lain disebut Abu Hanifah karena sifat rajinnya (hanif) dalam beribadah kepada Allah. Selain itu, ada juga yang mengartikan panggilan “Abu Hanifah” dengan “tinta”. Kata “Hanifah” sendiri menurut bahasa Irak , artinya “dawat” atau “tinta”. Hal tersebut dikarenakan Imam Hanafi gemar dalam menulis ilmu yang ia dapat.

Kegemaran Imam Hanafi dalam menulis dan menuntut ilmu sudah terlihat sejak kanak-kanak, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan hukum-hukum agama Islam. Oleh sebab kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, Imam Hanafi berguru kepada tokoh-tokoh besar pada masanya, diantaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abu Aufa, Watsilah bin al-Asqa, Ma’qil bin Yasax, Abdullah bin Anis, dan Abu Thafail (‘Amir bin Watsilah).

Metode Pendidikan Imam Hanafi Dalam Mengajar

Seperti yang telah sedikit disinggung di awal, bahwa Imam Hanafi memiliki metode atau cara mengajar yang khusus untuk muridnya yang telah tergolong dewasa. Di mana beliau tidak menyuruh para muridnya untuk begitu saja mengikuti perkataan beliau.

Para murid Imam Hanafi diajari cara kepemimpinan dan dilatih menjadi orang yang berpikir merdeka. Selanjutnya, mereka diberikan keleluasaan untuk berpendapat agar terlepas dari segala kungkungan dan jeratan yang akan mengikat serta mengkungkung kecerdasan otak mereka.

Berdasarkan metode di atas, maka murid-murid Imam Hanafi dapat meneliti serta membahas hukum-hukum agama dengan baik dan luas. Sehingga pada akhirnya, mereka mengerti dan mengikuti metode kepemimpinan Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk memahami fenomena alam semesta, seperti fenomena pergantian siang dan malam.

Imam Hanafi memposisikan hubungan antara dirinya dengan murid-muridnya hanya sebagai pengajar (guru) kepada pelajar (murid). Hal tersebut dimaksudkan agar para murid tidak merasa sungkan untuk berbeda pendapat ataupun pemikiran dengan Imam Hanafi.

Pada umumnya, para murid Imam Hanafi diberi kemerdekaan untuk berpikir, untuk memecahkan soal-soal, dan sesekali diperkenankan membantah pelajaran atau pendapat beliau mengenai segala masalah yang kiranya terasa menyalahi wahyu ilahi atau berlawanan dengan hadits Nabi saw.. Akan tetapi, hal tersebut harus disertai dengan penelitian akal yang bersih dari segala macam pengaruh.

Menurut Imam Muhammad bin Hasan dalam sebuah riwayat dikatakan, “Imam Abu Hanifah seringkali ber-munadharah, ber-mubahatsah, bertukar pikiran dan berunding kepada para murid atau para sahabat beliau yang terdekat, tentang soal-soal hukum dengan secara merdeka dan para murid beliau pun membantahnya dan menolak alasan-alasan yang dikemukakan oleh beliau”.

Jadi, secara sederhana Imam Hanafi mengajar melalui dua metode, yaitu metode ber-munadharah (sistem belajar yang menyerupai diskusi bersama atau musyawarah), dan metode ber-mubahatsah; caranya dengan dua sampai lima orang duduk melingkar membahas satu pelajaran yang sama dan saling bergantian menjelaskan apa yang mereka pahami dari pelajaran yang diberikan.

Kecerdasan yang dimiliki oleh Imam Hanafi terdengar hingga Raja Harun ar-Rasyid, dan seketika itu pun Sang Raja berkata bahwa “Abu Hanifah adalah orang yang dapat melihat suatu barang dengan akalnya, sementara mata kepalanya tidak dapat melihatnya”.

Berkat kecerdasan Imam Hanafi, beliau menulis banyak karya yang telah dibagi menjadi tiga bagian atau tingkatan. Tingkatan pertama dinamakan “Masa-ilu-ushul”; tingkatan kedua dinamakan “Masa-ilu-nawadhir”; dan tingkatan ketiga dinamakan “Al-Fatawa wal Waqi’at”.

Pada usia 70 tahun, Imam Hanafi menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah (767 M), dan di tahun yang sama lahir lah Imam Syafi’i. Al-Khaizaran di kota Baghdad menjadi tempat pengistirahatan terakhir Sang Imam Madzhab.

Related posts