Orang yang Berdosa: Asy’ariyah vs Mu’tazillah
Kata dosa mungkin sudah banyak sekali dikenal oleh rata-rata masyarakat. Bahkan, kata ini dianggap sangat berkaitan erat dengan manusia. Salah satu alasannya adalah karena manusia tidak bisa luput cari dosa. Terkecuali Nabi Muhammad SAW yang terbebas dari dosa karena dia adalah manusia yang suci. Tidak ada manusia lain yang bisa terbebas dari perbuatan dosa sepanjang hidupnya tersebut.
Bagaimana Kritik Asy’ariyah terhadap Pandangan Orang yang Berdosa menurut Mu’tazillah
Kaum penganut aliran asy’ariyah dan maturidiyah sudah menyepakati bahwasannya Allah SWT itu bersifat adil. Namun, pemahaman kedua aliran ini mengenai keadilan berbeda-beda satu sama lain. Kaum asy’ariyah tudak setuju dengan doktrin yang diberikan kaum mu’tazillah bahwa Allah harus selalu bersikap adil. Hal ini juga termasuk bagi orang yang berbuat dzalim.
Letak perbedaan kedua aliran ini terletak pada pemikiran golongan mereka masing-masing. Kaum mu’tazillah memandang keadilan dari sisi kepemilikan manusia saja. Sedangkan kaum asy’ariyah justru melalui bagian kepemilikan mutlak Allah SWT. Tentu kedua hal ini adalah sesuatu yang jelas berbeda, karena pandangan sisi manusia dan Tuhan (Allah) tidak dapat disamakan. Keduanya memiliki letak perbedaan masing-masing yang tentu tidak bisa disamakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Orang yang berdosa biasanya disebabkan oleh hal-hal negative yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya. Asy’ariyah menolak ajaran menengah yang dipercayai oleh kaum-kaum mu’tazillah. Apalagi jika mengingat kembali bahwa iman merupakan kebalikan dari kufur. Predikat yang disematkan kepada seorang manusia harus salah satunya. Jika bukan mukmin, maka jelas kafir. Maka dari itu, kaum asy’ariyah berpendapat bahwa mukmin yang melakukannya. Sedangkan asy’ariyah berpendapat sebaliknya.
Keduanya memang sama-sama berpendapat bahwa orang yang berdosa itu pasti ada. Namun, kaum asy’ariyah dan mu’tazillah memiliki pandangan berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut. Kaum mu’tazillah berpikir bahwa ada ajaran menengah yang memposisikan orang berdosa tidak sepenuhnya berdosa. Artinya orang yang berdosa ini berada di tengah-tengah dan tidak dianggap sebagai kafir seperti pandangan kaun asy’ariyah. Kaum asy’ariyah sendiri memandang bahwa orang yang berbuat dosa itu dinamakan kafir. Karena pada dasarnya tingkat keimanan kaum muslim-muslimin itu didasarkan pada seperti apa keislaman dan tingkah laku mereka. Jika mereka berbuat hal-hal yang tidak baik dan bersifat negative, maka hal ini sudah bisa dikategorikan sebagai kafir oleh kaum asy’ariyah.
Namun, kaum mu’tazillah mungkin berpendapat dari sisi lain bahwa seorang manusia tidak mungkin dapat dipisahkan dari hal-hal yang bersifat negative. Atau istilahnya tidak mungkin bisa dilepaskan dari dosa. Karena setiap manusia pasti tidak luput dari berbuat dosa. Dosa yang dimaksud adalah dosa kecil, seperti menggunjing, iri, dengki, membicarakan orang lain dan masih banyak lagi lainnya. Semua itu tidak akan bisa dihindari, karena tabiat ini memang sudah melekat di diri manusia. Tetapi, mungkin masih bisa dicegah untuk dilakukan dengan mengingat hal tersebut tidak akan membawa faedah apapun kepada orang yang melakukannya.
Pandangan kedua aliran ini saling bertolak belakang dalam memahami arti dan pengamalan dari keadilan. Tapi, pada sisi lain keduanya sama-sama mendukung keadilan Tuhan. Meskipun, dengan jalan mereka masing-masing. Satu sisi, asy’ariyah dan mu’tazillah memang sangat menyetujui konsep keadilan Tuhan terhadap umatnya. Namun, keduanya memiliki pandangan masing-masing mengenai seperti apa Tuhan harus bertindak adil kepada hamba-Nya. Bagi kaum mu’tazillah selama seseorang tidak murtad atau berbuat zina atau hal-hal besar yang buruk dan tidak patut dicontoh lainnya. Maka, perbuatan dosa mereka belum termasuk dalam kategori kafir. Di sisi ini, kaum mu’tazillah menganggap hal seperti ini sebagai hal yang adil. Akan tetapi, pada sisi yang lain kaum asy’ariyah memandang bahwa manusia hanya bisa memegang dua predikat dalam hidupnya, yakni mukmin atau kafir dan tidak ada jalan tengah antara keduanya tersebut.
Dari kedua hal inilah tercipta perbedaan mendasar antara golongan asy’ariyah dan juga mu’tazillah. Keduanya sebenarnya adalah satu golongan atau klan. Namun, kemudian beberapa orang yang tidak sepemikiran melepaskan diri dan akhirnya membentuk golongan baru bersama-sama.