Sastra adalah salah satu sumber daya pengetahuan yang tumbuh memukau di bumi Timur Tengah. Konon karena kondisi gurun yang demikian gersang membuat orang-orang Arab kerap bermain-main dengan kata dan imajinya. Sehingga muncullah syair-syair cantik yang didendang orasikan dengan retorik penuh pikat.
Bila Arab bukan negeri dengan tingkat kekentalan sastra yang tinggi, bisa jadi al-Qur’an tidak akan berformat seperti sekarang ini. Sebab salah satu mukjizat dari kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu memiliki gaya bahasa yang bernilai sastra tinggi. Mengapa demikian?. Karena masyarakat Arab saat itu adalah masyarkat yang sehari-harinya hidup dengan tradisi sastra yang kuat.
Dari sudut historisitasnya, sastra Arab yang hidup sangat subur pada periode qobla nabi sampai masa Abbasiyyah juga mengalami masa-masa vakum. Di mana kerja kesusastraan terhenti dari aktifitas biasanya. Hal ini karena bumi muslim Baghdad dipukul rubuh oleh tentara Hulagu Khan. Pukulan itu menjadi tanda berakhirnya Dinasti Abbasiyah dan terporak-porandakannya seluruh manuskrip pengetahuan muslim. Bahkan tidak sedikit karya-karya cendekiawan muslim yg di bumi hanguskan.
Hana al-Fakhuriyyah membagi periode kesusastraan Arab ke dalam lima fase. Pertama periode jahiliyyah yakni masa sebelum pengangkatan Nabi terakhir. Kedua periode Islam yakni pada periode Nabi Muhammad SAW diangkat atau pada tahun pertama hijriyyah sampai masa Bani Umayyah. Ketiga masa Abbasiyah, sepertinya Hana menempatkan masa ini terpisah dari masa sebelumnya karena pada masa inilah kejayaan susastra Arab bersinar. Keempat masa kemunduran kesusastraan Arab yakni saat Hulagu Khan menghanguskan Baghdad sampai naiknya Muhammad Ali Pasya di panggung politik Mesir. Kelima periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab yakni setelah Muhammad Ali Paysa menjadi penguasa Mesir sampai sekarang.
Bumi Timur Tengah masih terus melahirkan manusia-manusia sastra dengan kualitas yang tidak main-main. Banyak dari karya mereka yang mampu memaukai sastrawan dunia sehingga buah-buah karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa yang ada di dunia. Beberapa nama sastrawan Timur Tengah yang ditulis oleh Bahrudin Achmad dalam bukunya adalah Mahmud Sammi al-Bardi, Rifa’at Tahtawi, Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim, Mustafa Lutfi al-Manfaluti, Husein Haekal, Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Mazini, Thaha Husein, Mahmud Taimur, Taufiq el-Hakim, Kahlil Gibran, Sayyid Qutb, Najib el-Kaelani, Yusuf al-Siba’i, Ali Ahmad Bakatsir, Najib Mahfudz, Nawa el-Sadawi, Fadwan Tawqan, Nazek al-Malaikah, Salma Khadra, Samirah binti al-Jazirah al-Arabiyyah.
Menariknya banyak dari para sastrawan Arab tersebut menempuh berbagai lakon dalam hidupnya. mulai dari lakon sebagai pelajar yang begitu gandrung dalam menggeluti berbagai pengetahuan sampai lakon pada posisi-posisi jabatan kenegaraan. Namun sesibuk apapun mereka dengan pekerjaannya selalu tidak lepas dari aktifitas tulis menulis serta aktifitas literasi lainnya. Bahkan banya dari mereka yang menjadi pemimpin di penerbitan-penerbitan surat kabar sambil terus menulis dan menerbitkan buku dalam khazanah literatur kesusastraan Arab.
Beberapa karya sastra yang lahir dari pena-pena mereka di antaranya adalah novel Yaumiyyat Paris (1999) yang ditulis oleh Husein Haekal. Ada juga novel al-Thoriiq al-Thowiil (1957) yang mendapat anugerah penghargaan dari Kementrian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Ada juga novel cerita cinta karya Kahlil Gibran yang berjudul al-Ajnihah al-Mutakassirah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sayap-Sayap Patah. Novel yang terakhir ini populer bukan hanya di negeri asalnya namun juga di Indonesia, utamanya yang meminati kajian sastra-sastra Timur Tengah.
Hal lain yang sangat baik dari apa yang ditulis oleh Bahrudin Achmad dalam bukunya ini adalah kehadiran sastrawan-sastrawan perempuan Timur Tengah. Beberapa di antarannya adalah Nawal el-Saadawi yan karya-karyanya banyak membakar semangat perjuangan para pembacanya. Dari buah karya-karyanya Nawal el-Saadawi dikenal sebagai tokoh feminis Mesir. Orang-orang yang membaca bukunya Nawal kerap tersulut amarahnya oleh sebab diketengahkan berbagai ketimpangan sosial yang menjadi jamur kehidupan demokratis di masyarakat bahkan untuk konteks kemanusiaan. Sampai hari ini karya-karya Nawal masih terus hidup bahkan cukup banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Terakhir, saya hendak mengapresiasi karya dari Bahrudin Achmad yang masih terbilang langka dalam pasaraya literasi Timur Tengah. Dari sini kita akan membuka cakrawala bahwa Arab bukan hanya tentang gurun dan kobaran pertempuran belaka. Namun juga ada tangkal-tangkal sastra yang meneduhkan atmosfer kemanusiaan di sana. Bahkan sangat teduh untuk manusia manapun yang ada di dunia.