TARIKH: BAHASA ARAB DAN DINASTI UMAYYAH
Bahasa Arab pernah mencapai titik kejayaanya pada masa dinasti Umayyah. Pengembangan bahasa Arab sangat terasa pada dinasti UmaYyah. Bahkan banyak sekali ahli bahasa yang muncul pada era tersebut. Tak sedikit karya yang lahir dari tangan para penyair atau ahli bahasa yang sangat mashur dan sangat berdampak kedalam kebudayaan masyarakat dinasti Umayah.
Seperti yang terekam dalam sejarah, dinasti Umayyah memegang kendali kekuasaan pada tahun 661-750 M. Sejak awal berdirinya, dinasti Umayah memiliki hasrat untuk melestarikan nilai-nilai Arab. Artinya tetap setia pada bahasa Arab sebagai bahasa al qur’an. Selain itu, dinasti Umayah pun mengharuskan pemakaian bahasa Arab yang baik dan benar di istana dan tempat-tempat penting lainnya.
Pernah didapati pula sebuah potret kejadian unik ketika masa pergantian khalifah. Pada waktu itu khalifah ‘Abd al-Malik, selaku pemegang takhta tidak dapat menyetujui pencalonan anak kesayangannya al-Walid untuk menggantikannya sebagai khalifah. Hal ini didasari karena anak kesayangannya tersebut tidak mampu menguasai bahasa Arab dengan baik termasuk pemahamannya terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab masih dinilai kurang baik. Ini merupakan bukti komitmen salah satu khalifah dinasti Umayah terhadap bahasa Arab, dimana bahasa Arab menjadi kriteria utama bagi penerus khalifah dinasti Umayah.
Kemudian pada waktu itu, masyarakat dinasti Umayyah cenderung setia untuk memegang tradisi sastra padang pasir. Hal ini menempatkan para penyair menduduki tempat yang terhormat seperti pada masa sebelum munculnya agama Islam dan awal kebangkitan agama Islam. Penyair pada dinasti Umayyah berlomba-lomba menulis qosidah seperti masa sebelum menyebarnya agama Islam baik dari sudut bentuk puisi atau tema. Selain itu, mereka juga merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang berperan sebagai penyokong kerajaan ataupun sebagai penentang kerajaan.
Maraknya aktivitas para penyair bahasa Arab pada dinasti Umayah secara tidak langsung telah memperkaya bahasa Arab dengan ungkapan-ungkapan baru dan telah memberi dorongan ke arah penulisan karya-karya prosa selama dasawarsa pertama abad ke-8 M. Karya-karya tersebut antara lain mencakup legenda-legenda, kronik, pidato-pidato keagamaan, biografi, sejarah, hadits, hukum, tata bahasa, dan teologi. Sebagai contoh tokoh-tokoh dari kalangan teologi yang muncul dalam dinasti Umayah yaitu Hasan Basri, Washil Bin ‘Ata’ (wafat 748 M), serta banyak tokoh lain yang membicarakan masalah-masalah teologi. Kemudian ‘Abid Bin Syarjah yang menulis tentang legenda-legenda untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum. Wahab Bin al-Munabbih seorang pakar tentang asal-usul sesuatu. Serta Musa Bin Uqbah (wafat 758 M) seorang pengarang buku-buku mengenai sejarah sebelum munculnya agama Islam. Dari karya yang muncul dari tangan para tokoh tersebut ditemukan banyak unsur baru yang masuk pada puisi dan pidato di samping bentuk-bentuk sastra lainnya.
Pada perkembangannya karya-karya prosa bani Umayyah hampir seluruhnya hilang, nampaknya dapat dipastikan bahwa tradisi penulisan yang ilmiah telah berjalan mantap pada abd ke-8 M. Bahasa Arab telah memiliki istilah yang memadai dalam bidang hukum, hadits, tata bahasa, retorika, administrasi negara, dan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Kendati demikian bahasa Arab masih belum memiliki istilah-istilah teknis yang menyangkut filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu, dan lain sebagainya. Meskipun masih banyak kekurangan, upaya dinasti Umayyah dalam bidang bahasa Arab merupakan prestasi besar yang telah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan bahasa Arab pada masa selajutnya.[1]
Upaya yang dicontohkan oleh dinasti Umayah memperlihatkan upaya positif dari pemegang kebijakan terhadap pengembangan bahasa Arab. Apabila ditarik kedalam konteks bahasa Arab di Indonesia, semangat dalam mengembangkan bahasa Arab perlu terus ditingkatkan. Perhatian pemegang kebijakan terhadap pengembangan bahasa Arab menjadi modal utama kejayaan dan keberlangsungan bahasa Arab. Tradisi sastra bahasa Arab perlu terus dikembangkan dan terus diapresiasi sehingga mampu memunculkan karya-karya sastra dalam bahasa Arab dalam konteks Indonesia. Dalam ranah micro, bahwa dalam pembelajaran bahasa Arab, semangat, kreatifitas, rasa cinta dan setia terhadap bahasa Arab harus dimiliki oleh para pengajar bahasa Arab, tentu jika hal ini sudah dimiliki secara perlahan akan tertular kepada peserta didik. Semoga di masa mendatang khususnya dalam konteks Indonesia bahasa Arab akan semakin berkembang dan bisa kembali meriah kejayaannya seperti yang sudah terjadi pada masa dinasti khalifah setelah Rasulullah SAW.
Referensi:
[1] Anwar G. Chejne, Bahasa Arab dan Peranannya dalam Sejarah, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ) 1994, hlm. 77.