Tekstualitas Kitab al-‘Imrithy

banner 468x60

Sebelum menulis atau lebih tepatnya mengulas kitab al-Imrithy ini dengan tidak cukup panjang, penulis teringat akan guru penulis tatkala di pesantren dulu. Saat beliau, K.H. Suherman (tanpa saya sebutkan gelar akademisnya) atau yang lebih akrab disapa Mang Haji mengenalkan saya dengan kitab ini.

Adapulan Ustadz Abdul Syakur (tanpa saya sebutkan gelar akademisnya) yang dengan sabar mengajar saya Jurumiyyah tiap malam dengan model sorogan. Setelahnya saya dilempar kapur oleh salah satu guru saya di Tsanawiyah karena tidak mengerti I’rab tapi hanya menghafalnya.

Read More

Semua itu saya insyafi sebagai bagian proses hidup dalam mendulang pengetahuan yang harus dibeli dengan kesabaran. Bukan justru malah digelandang ke meja hijau merintih ke Komnas HAM.

Pun rupanya Imam Yahya al-Imrithy dalam nazhamnya secara jelas menyebutkan bahwa kitabnya adalah kitab yang menjelaskan kitab Nahwu populer sebelumnya yakni kitab Jurumiyyah yang dianggit oleh Imam Ibnu Ajurrumi.

Imam Yahya sendiri mengakui betapa masyhurnya kitab yang ditulis oleh Imam dan Ulama asal Faz Marokko tersebut. Beliau menuliskan bahwa kitab tersebut amat terkenal baik di kalangan Arab, ‘Ajam maupun Romawi. Oleh karenanya beliau pun diminta oleh teman-temannya untuk menulis kitab yang mensyarah kitab tersebut dengan penjelasan yang mudah. Hal ini karena sahabat-sahabat Iman Yahya begitu percaya terhadap kredibilitas ilmu dan kejujurannya.

Kitab al-Imrithy terdiri dari 254 bait yang terdiri dari beberapa bab dan satu fashal. Atau lebih tepatnya terdapat 28 bab dalam bahasan-bahasannya dengan sistematika tidak terlalu berbeda dengan kitab Jurumiyyah.

Bab pertama yang dibahas oleh Imam Yahya al-‘Imrithy adalah tentang Kalam dan Diferensiasi I’rab. Dilanjutkan dengan taksonomi lebih rinci perihal ‘Alamat I’rab yang mencakup Rafa’ , Nahsab dan Khafadh. Pun dalam istilah yang dipakai terdapat beberapa nama yang dirubah atau disesuaikan oleh penulis. Misalnya seperti istilah al-Maf’ul al-ladziy Lam Yusamma Fa’iluhu diganti dengan istilah Na’ib al-Fa’il. Ada juga istilah al-Munada diganti dengan nama al-Nida’ meskipun semuanya masih memiliki konsep yang secara keseluruhan masih sama.

Kitab ‘Imrithy telah banyak dikaji di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Bahkan beberapa pondok telah menempatkan kitab ini sebagai kitab lanjutan dalam mempelajari Nahwu setelah para santri selesai mempelajari kitab Jurumiyyah. Termasuk tidak sedikit pondok-pondok pesantren yang mewajibkan santri-santrinya menghafal kitab tersebut.

Syair-syair dalam kitab Imrithy banyak juga yang dipakai sebagai kalam motivasi. Utamanya oleh para ustadz atau kyai terhadap para santrinya yang tengah belajar. Memang sejak dalam mukadimah sampai ikhtitam kitab ini Imam Yahya al-‘Imrithy senantiasa menyandingkan kata ketakwaan dengan pengetahuan.

Related posts