Peranan Kiyai dalam Masyarakat Indonesia

Faham Ahlussunah wal-Jama’ah merupakan buah paling penting Peradaban Islam yang berkembang mulai abad ke-7 dan mencapai bentuk final formulasinya pada abad ke-13. Formulasi faham Sunni di negeri-negeri Muslim pada umumnya disebut dengan Ahlussunah (Tradisi Sunni) yang diartikan sebagai faham yang mengikuti pikiran-pikiran ulama ahli Fiqih (hukum Islam), hadits, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf dengan memilih salah satu dari imam empat pendiri Madzhab ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.

Embrio faham Ahlussunah tumbuh sejak masa ‘tabi’in’ dan bersamaan dengan meluasnya kekuasaan politik serta kemajuan ilmu pengetahuan Imperium Umayyah dan Abbasiyah. Tabi’in merupakan generasi pemikir dan penerus ajaran Rasulullah Saw. Setelah generasi sahabat berlalu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan semasa berkembangnya Imperium Bani Umayyah dan Abbasiyyah itu tumbuh pula pemikir-pemikir agung dalam ilmu-ilmu keislaman. Sebut saja Khalifah Harun Al-Rasyid pada tahun 785 mengeluarkan dana tidak kurang dari 5 juta dinar untuk memperoleh buku-buku ilmu pengetahuan yang terbit di pusat-pusat peradaban dunia pada waktu itu.

Islam mulai menyebar luas di kepulauan Nusantara antara abad ke-13 sampai abad ke-16 setelah persaingan antara madzhab selesai bertarung dan mencapai kesepakatan damai. Ulama Indonesia juga dapat dengan tenang memilih, menyeleksi dan menetapkan pandangan hidup keislaman masing-masing madzhab yang paling cocok untuk bangsa Indonesia. Proses seleksi pandangan keislaman itu dipilih dengan penuh perhitungan dan kemaslahatan.

Para kiyai sebagai pelaku sejarah yang telah berhasil membimbing umat Islam Indonesia dengan taat menganut faham Ahlussunah wal-jama’ah selama lebih dari 800 tahun, memahami sedalam-dalamnya makna dan kandungan faham Ahlussunah wal-jama’ah. Mereka tahu cara terbaik pengembangannya agar diikuti dan diamalkan oleh umat Islam dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dari masa ke masa. Salah satu kiyai yang mempunyai peranan besar di Indonesia ialah Kyai Wahid Hasyim. Ia berpendapat “Umat Islam Indonesia berbeda dengan umat Islam di sementara negeri lain, yang memilih Islam untuk keperluan hidupnya di negeri ini dengan menggunakan falsafah paduan dari 4 madzhab Sunni: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hambaliyah, serta dari masing-masing dipilih penafsiran yang terbaik untuk dipadukan dan diamalkan”.

Indonesia sendiri masyhur sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan sebagian besar dari mereka menganut Tradisi Sunni. Para kiyai sering mengungkapkan bahwa ajaran Imam Syafi’i, Al-Asy’ari-Maturidi dan Imam Junaidi sangat cocok dengan watak dan karakter bangsa Indonesia sebab mereka mengajarkan nilai-nilai tawassuth (memilih jalan tengah), tasamuh (toleran), dan tawazun (menjaga keseimbangan) berbangsa dan bernegara.

HAR Gibb berpendapat “Sungguh benar bahwa, tidak ada satupun aliran-aliran dalam filsafat dan agama yang betul-betul mandeg dalam 6 abad. Memang betul bahwa perumusan resmi faham para kiyai sedikit sekali berubah dari abad ke-13 sampai akhir abad ke-21. Namun demikian, dalam kenyataannya, struktur dasar kehidupan keagamaan orang-orang Islam Indonesia telah mengalami perubahan yang mendalam, dan sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat agama, proses perubahan itu telah melahirkan suatu kekuatan ekspansi yang tersalur dalam berbagai bentuk aktivitas”.

Demikian pula yang terjadi dengan pemikiran Islam para kiyai di Indonesia, semakin besarnya jumlah pengikut para kiyai sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai dengan saat ini merupakan salah satu bukti bahwa para kiyai di Indonesia memiliki vitalitas. Kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang mempunyai vitalitas tidak mungkin beku tanpa mengalami perubahan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Snouck Hurgronje “faham Islam para kiyai di Indonesia yang kelihatannya demikian statis dan kuat terpaku oleh pikiran-pikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya sudah mengalami perubahan yang fundamental, tetapi perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan demikian tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pemikiran umat Islam di Indonesia. Perubahan tersebut tidak akan bisa mereka lihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama”.

Peran penting yang dilakukan oleh para kiyai dikalangan masyarakat Indonesia selalu mendapatkan tempat yang istimewa dari jaman penjajahan sampai sekarang, itu terbukti pada jaman penjajahan banyak pemberontakan-pemberontakan melawan Pemerintah Kolonial yang dipimpin oleh para kiyai yang mempunyai pengikut setia kepada para kiyainya, salah satu contohnya adalah pemberontakan Geger Cilegon 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasyid dan beberapa tokoh Banten. Peran kiyai pada masa sekarang pun masih menjadi magnet untuk mempersatukan dan mendulang suara umat Islam, contoh wapres KH. Ma’ruf Amin pada pilpres 2019 kemarin.

Para kiyai selain mempunyai jiwa heroik dan kesatria untuk membela kebenaran dan menegakkan keadilan, para kiyai juga memiliki visi jauh ke depan, mereka melakukan persiapan bagi upaya memajukan pesantrennya. Menurut Zamaksyari Dofier “awal-awal perubahan pesantren memang sederhana dan langkah bertahap sangat penting dan sudah dimulai dari tahun 1910 di mana pesantren-pesantren mulai membuka pondok untuk murid-murid wanita. Dalam tahun 1920-an beberapa pesantren antara lain Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Singosari di Malang mulai mengajarkan pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, berhitung bumi dan sejarah”.

Pada umumnya seorang kiyai mempunyai pondok pesantren yang mana di dalamnya terdapat elemen-elemen pesantren, diantaranya: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab klasik (kitab kuning) dan adanya sosok kiyai sebagai guru dan sosok pemimpin di pesantren tersebut. Dengan demikian peranan kiyai sangat sentral baik dikalangan masyarakat Indonesia maupun dilingkungan pondok pesantren itu sendiri.

Related posts