Hasan Hanafi : Rekontruksi Ilmu Tauhid

Dalam kajian-kajian megenai persoalan ilmu tauhid, selalu mendapatakan tempat khusus dalam pembahasanya. Serta dalam perkembangannya, perbincangan mengenai ilmu tauhid ini sukar terdengar, dikarenakan hanya sebagian orang khusus yang membahas topik yang fundamental ini. Ilmu tauhid atau dalam Islam biasa dikenal dengan sebutan Ilmu Kalam, menjadi salah satu topik utama pembahasan dalam teologi Islam. Teologi sendiri dalam memahami pengertiannya berbeda-beda tergantung masanya, yang menggambarkan perkembangan teologi yang terjadi di waktu itu.

Dalam pengertian masa kontemporer, teologi dimaknai sebagai rangkaian konsep teoritis mengenai jawaban agama atas persoalan tertentu. Dalam semangat tersebut, yang menggambarakan tujuan untuk mencipatakan keadilan dan kemakmuran dalam hidup manusia yang terwujud dalam konsep kesatuan manusia. Dari hal tersebut mempengaruhi lahirnya ide-ide dari para pemikir Islam kala itu. Salah satu diantaranya adalah Hasan Hanafi.

Hasan Hanafi adalah seorang filosof hukum Islam seklaigus cendekiawan muslim, ia lahir di Kairo, Mesir, pada tanggal 13 Februari 1935. Pada tahun 1948 ia menamatkan pendidikan dasarnya, dan studinya berlanjut ke Madrasah Khalil Agha, Kairo dan selesai di tahun 1952. Saat studinya di madrasah tersebut, ia sudah aktif dalam mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, berkat itu dia dapat mengetahui pemikiran yang dikembnagkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dikerjakan.

Selepas ia mendapatkan gelar sarjana muda dari Universitas Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab di tahun 1956. Ia melanjutkan studinya ke Prancis, tepatnya di Universitas Sorbonne Prancis, dan ia memilih untuk berkonsentrasi dalam kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern. Selama perjalanan studinya di Prancis yang kira-kira sampai 10 tahun, selama itu Hanafi mempelajari berbagai disiplin ilmu. Mulai dari pemikiran fenomenologi milik Husserl (1859-1938), kemudian kajian analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-2005), dan pemikiran pembaharuan dan sejarah filsafta Jean Guitton (1901-1999).

Terbilang cukup lama perjalanan karir ilmiah Hasan Hanafi berlangsung di Paris. Akibatnya membuat ia memiliki kesan abadi pada perkembangan intelektualnya, yang  membuatnya berucap “itulah Barat yang aku pelajari, aku cinta, aku kritik dan akhirnya aku benci”. Meskipun ia mengkritik bahkan menolak Barat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ide-ide yang selama ini dikaji, ia dalami telah merasuk dan mempengaruhi dalam pemikirannya.

Salah satu pemikiran tersebut adalah mengenai konsep rekonstruksi pemikiran teologi Islam, sebab dalam mewujudkan konsep ini ia menggunakan metode dialektika, fenomenologi, dan hermeneutik. Rekontstruksi yang dimaksud adalah menjadikan teologi Islam tidak hanya berupa dogma-dogma keagamaan, melainkan menjadikan sebagai ilmu perjuangan sosial, dan keimanann berperan secara actual sebaga landasan etik dan motivasi tindakan manusia.

Konsep baru tentang teologi Islam yang diajukan Hasan Hanafi berupa teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas teologi sebelumnya (klasik)bahwa teologi tidak ilmiah dan melangit. Sebagian upaya yang dilakukannya adalah dengan mentransformasikan teologi klasik yang bersifat teosentris menuju antroposentris. Dari Tuhan kepada manusia, dari tekstual ke kontekstual, dari teori ke tindakan, dan dari takdir yang terkungkung ke takdir kebebasan.

Oleh karena itu teologi ini bisa dikatakan bersifat universal, yang maksudnya pembahasan yang terjadi di dalamnya tidak hanya sekedar permasalahan tentang Tuhan, namun juga mencakup aspek-aspek yang lain, yang masih dalam ruang lingkup Islam, yang di dalamnya terdapat bidang-bidang keduniawian dan mental. Pada akhirnya teologi ini bukan hal yang kosong tanpa mkana, malainkan menjadi bangunan teologi yang teoritik nan praktis, yang wujudnya melahirkan gerakan dalam sejarah.

Tiga Pemikiran Penting

Ada tiga pemikiran penting yang menjadi fokus rekontruksi teologi Hasan Hanafi, diantaranya adalah dzat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan ketauhidan. Dalam menjelaskan konsep tentanng dzat Tuhan beserta sifat-Nya. Baginya konsep tentang dzat Tuhan dan sifat-Nya tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang di tafsirkan para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa manusia Tuhan tetap Yang Maha suci.

Di sisi lain mengenai dzat Tuhan, deskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri, telah memberikan pengajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri. Menurut Hanafi, deskripsi pertama dzat Tuhan adalah keberadaan (wujud). Sedangkan sifat-sifatnya menggambarkan sebuaha kesadaran terhadap lingkungan sekitanya termasuk di dalamnya alam dunia. Tuhan dalam Islam tidak sekedar menjadi Tuhan langit, namun juga menjadi Tuhan bumi, maka berjuang dan membela serta mempertahankan tanah kaum muslimin, sama halnya dengan mempertahankan kekuasaan Tuhan.

Tauhid dalam pandangan Hanafi bukan merupakan sifat dari Tuhan, namun terkonsentrasi pada konteks kemanusiaan yang lebih konkret. Tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial tanpa kelas, ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarakan suku, ras, kekayaan dan kelas. Manusia di tempatkan dalam kesamaan, tidak ada pemisah anatra keduniawian dan keagamaan.Kiprah Hasan Hanafi dalam membangun teologi Islam, pemikiran Islam, menjadikan ia teladan yang pantas dalam mengambil langkah untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dari Barat.

Related posts