Membaca Tantangan Bahasa Kehidupan

Menyadari betul urgensi bahasa dalam kehidupan manusia, seolah kajian tentang bahasa tak akan pernah usai seiring dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahasa memegang peranan penting hampir pada seluruh lini kehidupan, setiap orang berkutat pada kemampuan bahasa mereka. Para guru dan dosen menyampaikan bahasa pendidikan. Para mahasiswa menyampaikan bahasa pembaharuan. Para politisi menyampaikan bahasa harapan. Para sastrawan menyampaikan bahasa peradaban. Para cendikiawan menyampaikan bahasa pengetahuan. Para budayawan menyampaikan bahasa kemanusiaan. Bahkan para tukang menyampaikan bahasa kehidupan. Semua berasumsi dengan bahasa mereka masing-masing. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai anugerah berbahasa.

Bahasa masing-masing

Read More

Dengan kemampuan bahasa di setiap disiplin ilmu, maka mereka paling tidak dilabeli pakar dibidangnya. Setiap manusia akan berbicara dengan kemampuan bahasa keilmuannya, sehingga pantas saja, –wa lâ taqfu mâ laisa laka bihi ‘ilmun- sebaiknya kamu tidak mencampuri perkara yang bukan pakarnya. Agar lini kehidupan manusia berjalan seimbang dan berkelanjutan, maka mesti ditangani oleh ahlinya.

Sebagai contoh, bahasa pendidikan akan berbeda dengan bahasa sastra. Bahasa tasawuf akan berbeda dengan bahasa tafsir dan disiplin ilmu lainnnya. Semua berasumsi atas dasar bahasanya. Lebih dari sekedar mencermati kemampuan bahasa manusia, yang selanjutnya disebut linguis. Penulis hendak menyoroti kondisi yang sebaiknya tidak seharusnya terjadi, dengan redaksi yang nyaring, tidak seharusnya para ahli dan pakar dibidangnya, belum mengoptimalkan ilmunya untuk membangun Indonesia.

Kajian ini dimulai dengan mencerna pendapat Imam al-Qusyairi, beliau menyebut bahwa Nahwu terbagi dua macam yaitu Lisan dan Hati. Deskripsi pada awal pembahasan itu semata mencerminkan kemampuan bahasa manusia secara lisan saja, setiap pakar berbicara dengan lisan disiplin ilmunya, bahkan mereka sangat ahli dan mendalam pengetahuan di bidangnya.

Tapi, rasanya belum berarti secara total jika ilmu hanya dalam wacana diskusi tanpa selaras dengan aksi dan kenyataan. Hal ini memerlukan upaya yang serius dan sistematis. Pakar dalam disiplin ilmu mesti ditunjang dengan akhlak mulia. Sehingga tidak pincang sebelah. Apa lagi fakta di Indonesia, masih cukup banyak pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan. Maka bukan tidak mustahil beberapa tahun ke depan Indonesia akan jauh lebih membutuhkan generasi pembangun dari pada generasi pembawa ekspektasi saja.

Hal yang sedang dibutuhkan

Lalu apa yang sebetulnya sangat darurat dibutuhkan dalam membangun Indonesia ini?. Paling tidak penulis hendak mengingatkan dua hal yang mungkin terlupakan. Pertama Menjadikan ilmu sebagai pondasi amal. Sebagai muslim, mengamalkan ilmu bukan saja menjadikan kita semakin terhormat secara wibawa ilmu, tapi mampu membantu menyelaraskan ketimpangan sosial dan menyelamatkan kita dari jurang kehancuran. Bukankah setiap ilmu akan dituntut sejauh mana mengamalkannya?. Menjadi ahli di bidang tertentu akan semakin terasa manfaatnya jika diimbangi dengan mengamalkan.

Seiring dengan semakinnya bertambahnya jumlah sarjana, maka tantangan berikutnya mesti diimbangi dengan implementasi ilmu yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Gagasan dan wawasan dari mahasiswa dan santri masih terus dibutuhkan untuk membangun Indonesia, metodologi dan kreativitas dari cendikiawan dan ilmuan akan sangat berarti bagi Indonesia. Bahkan dengan kekompakan dan ‘ide gila’ para pemuda dan pengangguran akan mampu menyelamatkan Indonesia.

Sekali lagi, kita semua perlu bergerak bersama-sama, menciptakan peluang dan kesempatan menjadi pemberdayaan. Lakukan hal-hal yang terlihat sepele tapi akan menimbulkan dampak baik bagi sekitar. Tidak semestinya lagi mencibir dengan caci maki. Perlahan tapi pasti kita bergerak sesuai kemampuan bidangnya, membangun Indonesia yang lebih disegani.

KeduaPeduli dengan kondisi sosial. Sila nomor lima yang mungkin saja masih kita ingat, berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa kita terdahulu. Pada dasarnya, keadilan sosial itu milik seluruh masyarakat, tentu sebelum terjadinya keserakahan sosial dan keegoisan atas nama gengsi sehingga berdampak tidak seimbangnya kehidupan. Kaum miskin seolah semakin terjepit kesakitan. Di lain pihak juga sebaliknya, tak banyak yang mempedulikan nasib sesamanya.

Ini semestinya menjadi perhatian bersama. Sebab tantangan kesenjangan di negara kita itu bukan main. Perlu penanganan segera, sebelum terlanjur kronis dan sulit dicari obatnya. Kali ini kita juga harus kompak dan berjalan berdampingan, lakukan aksi sosial yang berdampak bagi masyarakat, terlebih pada situasi pandemi saat ini, saya mengajak saudara agar meningkatkan rasa kepedulian kita.

Related posts